Pendidikan Sekolah
Kita Antirealitas
JIKA realitas kehidupan masyarakat dicerdasi, akan tampak dunia pendidikan sekolah kita sebenarnya kurang diorientasikan untuk mencerap realitas kehidupan secara kreatif dan visioner. Realitas kehidupan ekonomi kita yang sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian dan perkebunan, ternyata kurang tergarap baik oleh ilmu pertanian dan perkebunan yang diajarkan di sekolah-sekolah umum kita, sejak dari SD hingga perguruan tinggi, baik dalam proses pembelajaran maupun kegiatan riset. Terbukti kita tidak mampu mengembangkan budidaya pertanian dan perkebunan, akibatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Ironinya, terhadap produk-produk pertanian itu, kita masih mengimpor dan tergantung luar negeri, seperti beras, gula, buah-buahan, dan kedelai.
JIKA realitas kehidupan masyarakat dicerdasi, akan tampak dunia pendidikan sekolah kita sebenarnya kurang diorientasikan untuk mencerap realitas kehidupan secara kreatif dan visioner. Realitas kehidupan ekonomi kita yang sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian dan perkebunan, ternyata kurang tergarap baik oleh ilmu pertanian dan perkebunan yang diajarkan di sekolah-sekolah umum kita, sejak dari SD hingga perguruan tinggi, baik dalam proses pembelajaran maupun kegiatan riset. Terbukti kita tidak mampu mengembangkan budidaya pertanian dan perkebunan, akibatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Ironinya, terhadap produk-produk pertanian itu, kita masih mengimpor dan tergantung luar negeri, seperti beras, gula, buah-buahan, dan kedelai.
Demikian pula usaha kecil menengah (UKM) yang
besar jumlahnya dan banyak menyerap tenaga kerja, serta mempunyai andil
besar mempertahankan ekonomi nasional dalam menghadapi krisis, ternyata
kurang tergarap secara signifikan oleh ilmu ekonomi yang dikembangkan
sekolah-sekolah umum kita, dari SD hingga perguruan tinggi. Ironinya, pendidikan
ekonomi di sekolah umum, sejak SD hingga perguruan tinggi, tidak banyak
dikembangkan untuk pembinaan kualitas sumber daya manusia entrepreneur,
dengan mengaitkan ilmu ekonomi di sekolah-sekolah umum sesuai kebutuhan nyata UKM,
sehingga dapat mendukung lahirnya kelas menengah yang kuat, yang muncul
dari pelaku UKM yang berpendidikan. Dalam kaitan dengan pendidikan sekolah agama,
kita dapat melihat hal yang sama di mana pendidikan agama diajarkan
antirealitas. Realitas plural dalam kehidupan agama, baik secara internal dalam
kehidupan agama itu sendiri maupun secara eksternal dalam kaitannya dengan
agama-agama lain, kurang mendapat perhatian memadai dalam pengajaran dan
pendidikan ilmu-ilmu agama, yang diselenggarakan dunia pendidikan sekolah
agama kita, baik di SD hingga perguruan tinggi.
Pendidikan agama masih
diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan Kebenaran,
dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama
dengannya. Padahal, kita menyadari, Tuhan dan Kebenaran sesungguhnya tidak pernah
dapat dimonopoli seseorang atau sekelompok orang, meski mereka ustaz, kiai,
atau pendekar sekalipun. Akibatnya, realitas plural kehidupan agama
kurang berfungsi sebagai tali pengikat persatuan bangsa. Pluralitas seharusnya
bisa untuk menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling
menghormati, mau belajar memahami sesama pemeluk agama, serta membangun
kerja sama konstruktif untuk memajukan peradaban bangsa. Pluralitas agama
menjadi sumber konflik yang tak habis-habisnya, sehingga meresahkan dan
memperlemah persaudaraan agama, baik dalam agamanya sendiri maupun dalam hubungannya
dengan agama-agama lain. Persaudaraan ternyata amat mudah retak oleh
adanya konflik politik dan kepentingan kekuasaan, dan sering mengambil
bentuk kekerasan, seperti terjadi di beberapa kota, Poso, Ambon, dan
banyak lagi.
Mengubah konsep ilmu Pada hakikatnya, ilmu merupakan obyektivikasi
intelek terhadap realitas yang ditangkap dalam suatu momen kehidupan tertentu,
baik ruang maupun waktu, yang diabstraksikan melalui logika dan
diformulasikan menjadi rumusan dalil atau teori. Pada tahap ini harus dipahami,
realitas yang ditangkap intelek itu berubah terus, dinamis dan bersifat
terbatas, baik dari sudut waktu, ruang, maupun bidangnya. Suatu teori bersifat
sementara, sebab realitas yang dicerapnya selalu dalam keadaan berubah,
sehingga validitasnya bersifat sementara pula. Karena itu, yang lebih
diperlukan bukan menghapal teori-teori, tetapi pemahaman yang tepat
terhadap realitas itu sendiri, agar tidak terjadi kecenderungan menghapal
teori-teori tentang realitas, sementara realitasnya sendiri sudah berubah,
sehingga tidak memadai untuk mengatasi realitas yang ada.
Pada umumnya kita masih melihat kenyataan bahwa dunia pendidikan sekolah kita masih mengajarkan teori-teori belaka, tanpa memberi kesempatan kreatif untuk bergumul dan memahami realitas secara intensif. Celakanya, ketika teori itu diajarkan ternyata sudah tertinggal, karena realitasnya telah berubah. Akibatnya, ketika mereka menyelesaikan pendidikannya, mereka sama sekali tidak mengenali realitas yang ada di sekitarnya. Dalam keadaan demikian, respons mereka terhadap realitas pasti menjadi kosong, karena hakikat realitas itu tak pernah masuk dalam alam sadar pikirannya. Tidak heran bila kita melihat seseorang yang telah menyelesaikan studinya, maka habislah ilmu yang dihapalkan, sebab ilmunya tidak terkait sama sekali dengan realitas yang dihadapinya. Mereka hanya mendapatkan secarik kertas berupa ijazah atau sertifikat tanda tamat tanpa penguasaan terhadap ilmunya itu sendiri.
Pendidikan kita sebenarnya kurang memberi ilmu sebagai suatu proses, tetapi hanya ilmu sebagai produk, dengan memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik untuk dihafalkan. Masalah, bagaimana ilmuwan itu melahirkan teori-teorinya, tidak pernah dapat dimengerti secara benar. Kegalauan intelektual yang mendorong seorang ilmuwan melakukan pergumulan dengan realitas melalui berbagai pendekatan, metodologi, dan pengujian untuk dapat mengungkapkan fakta dan kebenaran di balik suatu realitas, tidak pernah menggugah kesadaran pikiran anak didik. Hal yang sama terjadi dalam pendidikan sekolah keagamaan, dengan lebih menguatnya penekanan pada formalisme agama, normatif, dan tekstual yang terlepas dari konteksnya. Agama seakan menjadi ajaran langit, datang dari langit dan lantas melangit, tidak ada kaitannya sama sekali dengan realitas bumi di mana seseorang hidup membumi. Akibatnya, agama tidak membumi dan antirealitas yang ada di Bumi. Realitas kemiskinan dipandangnya sebagai suratan nasib yang harus diterima dengan sabar, karena tidak terkait sama sekali dengan realitas ketimpangan struktural dalam kehidupan ekonomi dan politik suatu masyarakat. Agama telah memabukkan kesadaran manusia terhadap realitas sosial yang ada, dan pesan agama tidak dapat membumi dan dibumikan, apalagi untuk menjadi rahmat bagi semua kehidupan yang ada di muka Bumi ini.
Pada umumnya kita masih melihat kenyataan bahwa dunia pendidikan sekolah kita masih mengajarkan teori-teori belaka, tanpa memberi kesempatan kreatif untuk bergumul dan memahami realitas secara intensif. Celakanya, ketika teori itu diajarkan ternyata sudah tertinggal, karena realitasnya telah berubah. Akibatnya, ketika mereka menyelesaikan pendidikannya, mereka sama sekali tidak mengenali realitas yang ada di sekitarnya. Dalam keadaan demikian, respons mereka terhadap realitas pasti menjadi kosong, karena hakikat realitas itu tak pernah masuk dalam alam sadar pikirannya. Tidak heran bila kita melihat seseorang yang telah menyelesaikan studinya, maka habislah ilmu yang dihapalkan, sebab ilmunya tidak terkait sama sekali dengan realitas yang dihadapinya. Mereka hanya mendapatkan secarik kertas berupa ijazah atau sertifikat tanda tamat tanpa penguasaan terhadap ilmunya itu sendiri.
Pendidikan kita sebenarnya kurang memberi ilmu sebagai suatu proses, tetapi hanya ilmu sebagai produk, dengan memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik untuk dihafalkan. Masalah, bagaimana ilmuwan itu melahirkan teori-teorinya, tidak pernah dapat dimengerti secara benar. Kegalauan intelektual yang mendorong seorang ilmuwan melakukan pergumulan dengan realitas melalui berbagai pendekatan, metodologi, dan pengujian untuk dapat mengungkapkan fakta dan kebenaran di balik suatu realitas, tidak pernah menggugah kesadaran pikiran anak didik. Hal yang sama terjadi dalam pendidikan sekolah keagamaan, dengan lebih menguatnya penekanan pada formalisme agama, normatif, dan tekstual yang terlepas dari konteksnya. Agama seakan menjadi ajaran langit, datang dari langit dan lantas melangit, tidak ada kaitannya sama sekali dengan realitas bumi di mana seseorang hidup membumi. Akibatnya, agama tidak membumi dan antirealitas yang ada di Bumi. Realitas kemiskinan dipandangnya sebagai suratan nasib yang harus diterima dengan sabar, karena tidak terkait sama sekali dengan realitas ketimpangan struktural dalam kehidupan ekonomi dan politik suatu masyarakat. Agama telah memabukkan kesadaran manusia terhadap realitas sosial yang ada, dan pesan agama tidak dapat membumi dan dibumikan, apalagi untuk menjadi rahmat bagi semua kehidupan yang ada di muka Bumi ini.
Mengubah paradigma pendidikan Pendidikan sekolah kita seharusnya dikembalikan
kepada realitas dinamika masyarakatnya, bukan menjadi menara gading yang
tercabut dari akar kehidupan masyarakatnya sendiri. Pendidikan sekolah bukan
untuk mengajarkan mimpi dan antirealitas, tetapi menjadi bagian yang sah
dari realitas hidup masyarakatnya sendiri untuk mencari jawab atas
proses dialektik yang terus bergolak dalam kehidupan masyarakatnya.
Kecenderungan pendidikan yang antirealitas, mendorong menguatnya feodalisme
baru yang memuja gelar akademik hanya untuk menaikkan status dan gengsi
sosial, sehingga jual beli gelar akademik menjadi laris di mana-mana. Orang
pun merasa tidak malu membeli atau menyandangnya, karena kenyataan
menunjukkan, tamatan perguruan tinggi, yang mendapatkan gelar akademik secara
benar melalui studi panjang yang berjenjang, ternyata tidak bisa berbuat
apa-apa, bahkan banyak yang menganggur, dan secara signifikan tidak ada
bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan tinggi.
Untuk mengubah paradigma pendidikan sekolah
harus ada kebijakan pendidikan yang radikal, dengan mengubah secara fundamental
pendidikan, sebagai subyek dinamik realitas kehidupan masyarakat, sehingga
anak didik dapat memahami realitas secara utuh, benar, dan tepat.
Penguasaan alat untuk memahami realitas menjadi tugas fundamental dunia
pendidikan kita, melalui proses pembelajaran yang kreatif dan visioner, untuk
memperkaya intelektual dan
spiritual anak didiknya. Dunia pendidikan kita tidak boleh terjebak urusan birokrasi yang melelahkan dan tidak mencerdaskan, karena dalam banyak hal, birokrasi pendidikan justru telah membunuh substansi pendidikan itu sendiri. Birokrasi pendidikan sekolah kita telah berkembang secara berlawanan dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bahkan menjadi pusat pembodohan, karena birokrasi pendidikan diselenggarakan sebagai perpanjangan birokrasi kekuasaan dan politik, dengan memberi peluang adanya muatan-muatan politik yang terlalu jauh memasuki birokrasi pendidikan kita. Kita masih ingat bagaimana perguruan tinggi tidak boleh mempelajari suatu ideologi tertentu, seperti larangan mempelajari Marxisme hanya karena ketakutan politik terhadap bahaya komunisme. Demikian pula muatan kurikulum Pancasila dan Kewiraan dalam berbagai versinya, telah diajarkan dari SD hingga perguruan tinggi secara berlebihan, melalui proses pengulangan yang sebenarnya hanya memboroskan.
Musa Asy'arie Guru Besar Filsafat Islam dan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
spiritual anak didiknya. Dunia pendidikan kita tidak boleh terjebak urusan birokrasi yang melelahkan dan tidak mencerdaskan, karena dalam banyak hal, birokrasi pendidikan justru telah membunuh substansi pendidikan itu sendiri. Birokrasi pendidikan sekolah kita telah berkembang secara berlawanan dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bahkan menjadi pusat pembodohan, karena birokrasi pendidikan diselenggarakan sebagai perpanjangan birokrasi kekuasaan dan politik, dengan memberi peluang adanya muatan-muatan politik yang terlalu jauh memasuki birokrasi pendidikan kita. Kita masih ingat bagaimana perguruan tinggi tidak boleh mempelajari suatu ideologi tertentu, seperti larangan mempelajari Marxisme hanya karena ketakutan politik terhadap bahaya komunisme. Demikian pula muatan kurikulum Pancasila dan Kewiraan dalam berbagai versinya, telah diajarkan dari SD hingga perguruan tinggi secara berlebihan, melalui proses pengulangan yang sebenarnya hanya memboroskan.
Musa Asy'arie Guru Besar Filsafat Islam dan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar