MAKALAH
BALAGHOH SURAT AD-DHUHA
Makalah ini
ditujukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Balaghoh 2
Dosen Pengampu
: H. Ahmad Saikhu, Lc, MA
Di Susun Oleh :
ü
Nilatil Husna
ü
Muhimmatul Ulya
ü
Silvi Ramadhani
ü
Nurul Kholidiyah
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT
KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH (INKAFA)
SUCI MANYAR
GRESIK
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat
serta hidayahnya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk
mata kuliah BALAGHOH 2 yang membahas tentang:
“ BALAGHOH SURAT AD-DHUHA ”
Dan penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak dosen
yang telah membimbing penulis dan juga kepada teman-teman yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Dalam
Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Gresik,
25 Agustus 2015
Pemakalah
PEMBAHASAN
A. Syarah Surat
Ad-Dhuha
Surat al-Dhuhâ
adalah surat makkiyah, turun setelah
surat al-Fajr, terdiri dari
11 ayat, 40 kata dan 172 huruf.
Dinamakan surat al-Dhuhâ karena mengambil nama pembuka surat, yaitu Allâh
bersumpah dengan al-Dhuhâ; permulaan siang ketika matahari mulai tinggi. Hal
ini menunjukkan pentingnya waktu tersebut yang ditandai dengan munculnya cahaya
yang merupakan simbol bagi kebenaran, karena ayat ini berbicara tentang Nabi
Muhammad, karenanya dimulai dengan al-Dhuhâ. Sebaliknya surat sebelumnya karena
berbicara tentang orang yang bakhil maka ia diawali dengan al-Lail.
Pada ayat
sebelumnya Allâh mendahulukan kata al-Lail, pada ayat ini Allâh mendahulukan
waktu Dhuhâ. Hikmah dari hal ini adalah; pada keduanya terdapat maslahah bagi
para mukallaf.2 Malam mempunyai kelebihan dari pada siang karena lebih
dahulu disebutkan dalam al-Qur’ân, Maknanya: “Segala puji bagi Allâh yang telah
menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang”. (Q.S. al-An’âm: 1)
Dan siang mempunyai kelebihan karena padanya cahaya. Malam bagaikan
dunia dan siang bagaikan akhirat, masing-masing mempunyai kelebihan. Maka tidak
ada salahnya kadang malam didahulukan dan terkadang siang yang didahulukan. Sebagaimana
dalam ayat yang lain Allâh terkadang mendahulukan sujud dari pada ruku’ dan
terkadang mendahulukan ruku’ dari pada sujud.
Penyebutan
Dhuha yang menurut bahasa adalah permulaan siang dilanjutkan dengan Lail yang berarti malam secara keseluruhan memberikan beberapa isyarat :
pertama, bahwa bagian dari siang tersebut menyamai semalam penuh, artinya
pekerjaan
yang dapat dilakukan pada bagian dari siang tersebut menyamai dengan
apa yang
dapat dilakukan pada semalaman.
Kedua, siang adalah waktu bergembira dan bersantai-santai sedangkan malam
adalah waktu dimana orang banyak merasakan ketakutan dan kesedihan. Hal ini
memberikan isyarat bahwa kesedihan dunia lebih panjang dari pada kesenangannya.
Sebagaimana Dhuhâ hanya beberapa waktu sedangkan malam lebih panjang waktunya.
Ketiga, waktu Dhuhâ menunjukkan aktifitas manusia dan perkumpulan mereka
seakan-akan sama dengan waktu berkumpulnya manusia di padang makhsyar. Dan
malam menunjukkan waktu berhentinya manusia dari aktifitas seakan-akan sama
dengan gelapnya kubur. Keduanya ada hikmah dan keni’matannya. Keempat, disebutkan waktu Dhuhâ agar manusia tidak putus asa dari rahmat Allâh
dan disebutkan Lail agar manusia tidak merasa aman dari cobaan-Nya.
Adanya sumpah dengan keduanya dikarenakan
orang-orang kafir Quraisy mengklaim bahwa Allâh meninggalkan Muhammad dan
membencinya, maka
seharusnya
mereka yang mengeluarkan hujjah (bukti) akan tetapi mereka
tidak dapat mendatangkannya. Karenanya ayat ini dimulai dengan sumpah bahwa
Allâh tidak meninggalkan Muhammad dan membencinya. Sebagaimana kaidah ushul
fiqh mengatakan: البَيِّنَةُ عَلَى المُّدَّعِي وَاْليَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
Maknanya: “Bukti bagi orang yang
menuduh dan sumpah bagi orang mengingkari”.
B. Syarah Kosa
Kata Yang Sulit
Untuk memahami dan menjelaskan tafsir surat Al-Dhuha
saudara dapat mengambil beberapa kata kunci (mufrodat) sebagai berikut :
v Al-Dhuha = waktu dhuha. Waktu pagi hari antara
terbit matahari dan naiknya kira- kira setinggi tombak sampai condong ke barat
(al-jazairi/IV:409). Menurut suatu pendapat, waktu siang seluruhnya, hal ini di
dasarkan pada ayat sesudahnya yang memperlawanlannya dengan siang (sayyid
Al-Thanthawi,4524)
v Al-Akhirah= akhir, akhir tidak hanya bermakna hari
akhir, hari sesudah kehancuran. Menurut bahasa bisa juga sesuatu sebagai lawan
kata awal.
v Tardha = engkau rela, hari merasa enak dan senang
karena tidak ada yang dibencinya
v Yatim = anak yatim, seorang anak yang telah
ditinggal mati oleh bapaknya sebelum kelahirannya atau sebelum baligh, yatim
juga diartikan sebagai anak-anak yang hak keanakannya terampas.
v Dlallan = sesat, lawan dari petunjuk yakni tidak
makrifat agama dan petunjuk.
v ‘ailan = fakir, fakir dari gemerlap duniawi (Ibn
Ajibah/VII:97) asalnya miskin kemudian menjadi kaya.
C. Syarah Makna
Ayat Dalam Surat Ad-Dhuha
1.
Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
2.
Dan demi malâm apabila telah sunyi (gelap),
3.
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci
kepadamu.
4.
Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu
daripada yang sekarang (permulaan)
5.
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya
kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.
6. Bukankah dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?
7.
Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu
dia memberikan petunjuk.
8.
Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan,
lalu dia memberikan kecukupan.
9.
Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku
sewenang-wenang.
10. Dan terhadap orang yang
minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.
11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu,
Maka hendaklah kamu siarkan.
Para mufassir
sepakat bahwa latar belakang turunnya surah ini adalah keterlambatan turunnya
wahyu kepada Rasûlullâh. Keadaan ini dirasakan berat oleh Rasûlullâh,
sampai-sampai ada yang mengatakan, “Muhammad telah ditinggalkan Tuhannya dan dibenci-Nya.” Meskipun demikian, para mufassir berbeda
pendapat dalam beberapa hal:9
Menurut satu riwayat, Rasûlullâh mengadu kepada istrinya Sayyidah Khadijah
tentang terputusnya wahyu. Beliau berkata, “ Sesungguhnya Tuhanku telah
meninggalkan
aku dan membenciku.” Khadijah berkata, “Tidak! Demi dia yang
mengutusmu
dengan kebenaran, Allâh tidak memulai kemulian ini kepadamu kecuali dia ingin
menyempurnakannya untukmu.” Maka turunlah ayat,” Tuhanmu tidak meninggalkanmu
dan tidak pula membencimu.”
Riwayat yang lain mengakatan bahwa sesungguhnya si pembawa kayu bakar, Ummu
Jamîl, istri Abû Lahablah yang mengatakan, “Wahai Muhammad, aku tidak melihat
setanmu kecuali dia telah meninggalkanmu.” Riwayat yang lainnya mengatakan:
Sesungguhnya orang-orang musyriklah yang berceloteh, “Dia telah dibenci
Tuhannya dan ditinggalkan-Nya.” Ini adalah riwayat al-Bukhâri, Muslim,
al-Tirmîdzi, al-Nasâ’i dan Ibn Mâjah. Mayoritas ulama tafsir menyebutkan bahwa
sebab vakumnya wahyu dikarenakan suatu ketika orang-orang Yahudi bertanya
kepada Rasûlullâh tentang ruh, Dzul Qarnain dan Ashâb al-Kahfi. Kemudian Rasûl
mengatakan: “Saya kabari kalian besok”, tan mengatakan insya Allâh. Kemudian
wahyu tidak turun lagi untuk beberapa waktu lamanya. Zaid ibn Aslam mengatakan:
“Sebab vakumnya wahyu adalah adanya anak anjing milik Hasan dan Husain di
kediaman Rasûl”. Ketika Jibrîl datang, ia mengeluhkan Rasûl dengan mengatakan:
“Bukankah engkau mengetahui bahwa kami (malaikat rahmah) tidak masuk rumah yang
di dalamnya terdapat anjingdan gambar”.
Para mufassir berbeda pendapat lamanya wahyu tidak turun. Ibn Juraij mengatakan
selama 12 hari. Al-Kalbi mengatakan selama 15 hari. Ibn Abbâs mengatakan selama
25 hari. Dan al-Suddi dan Muqâtil mengatakan selama 40 hari.
D. Syarah Balaghoh
Dalam Surat Ad-Dhuha
Berikut ini akan dipaparkan beberapa
kandungan I’jâz Balaghi dalam surat ad-
Dhuhâ :
1. Ayat pertama: وَالضُّحَى
Ini merupakan majâz mursal yang alaqahnya juziyyah, yaitu dengan menyebutkan bagian sesuatu tapi yang dimaksud adalah
keseluruhan. Dalam hal ini kata dhuha yang merupakan bagian dari waktu siang
akan tetapi yang dimaksud dengannya adalah siang secara keseluruhan. Dikatakan
sebagai majaz
karena makna asal dari kata dhuha adalah waktu dimana
matahari mulai meninggi. Apabila dilihat dari pembandingnya yaitu kata lail maka makna yang sesuia dari kata dhuha adalah keseluruhan siang.
2. Ayat kedua:
وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
Kata سَجَى
يَسْجُو سَجْوًا
pada awalnya
digunakan untuk mensifati ombak yang tenang kemudian kata ini menjadi umum
sehingga digunakan untuk mensifati malâm ketika hening atau tenang. Dalam hal
inipun para ulâma berbeda pendapat tentang ketenangan yang dimaksud apakah yang
dimaksud adalah ”tenangnya malâm dari
suara manusia karena pada waktu itu mereka sedang tidur” atau “memang malâmnya
sendiri yang tenang”. Jadi menurut pendapat pertama isnâd (penyandaran) kata tenang ( سَجَى
) kepada malâm( الَّليْل
) adalah isnâd majâzi, karena yang tenang bukan malâmnya tetapi manusianya.
Sedangkan menurut
pendapat yang kedua ketenangan yang dimaksud adalah tenangnya udara pada malâm hari meskipun begitu udara tidak dapat dikatakan benar-benar tenang
karena ia terus bergerak meskipun
lâmban. Jadi kata سَجَى apabila dinisbatkan kepada لْيَل
maka nisbat tersebut
juga nisbat atau isnâd
majâzi.
Penisbatan seperti itu termasuk dalam
cabang ilmu bayân yaitu ”Majâz ‘aqli”
disebut juga ”majâz hukmi” atau “isnâd
majâzi”, yaitu suatu bentuk kalimat majâzi
yang diungkapkan
dengan menggunakan kata kerja atau kata-kata yang semakna dengannya seperti isim fâ’il atau isim
maf’ul atau masdar ke pengertian yang
lain atau penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya
hubungan dan korelasi yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaran yang hakiki antara kedua
makna tersebut.
3. Ayat ketiga: مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ
وَمَا قَلَى (3)
Ayat di atas merupakan jawaban sumpah (jawâb al-qasam). Jawâb
al-qasam apabila pada kalimat manfiyyah maka tidak didahului dengan lâm. Karenanya pada ayat ini menggunakan huruf nafi mâ yang berarti tidak atau
bukan.
Kata وَدَعَ pada asalnya adalah dari
kata الدَّعَةُ yaitu doa yang ditujukan kepada
seorang musafir agar dijauhkan oleh Allâh dari hal-hal yang tidak diinginkan Kata
رَبُّكَ adalah susunan mudhaf dan mudhaf
ilaih yang merupakan fâ’il dari wadda’a. Sedangkan kata ى َلَ ق اَ مَ و dihilangkan (hadzf) obyeknya karena telah diketahui pada kata مَا وَدَّعَكَ , jadi sudah jelas bahwa
obyeknya adalah kaf al mukhâthab. Al-Farra’
mengatakan maksud dari ayat tersebut adalah wa ma qalaaka, akan tetapi kafnya dihilangkan (hadzf). Maksud dari hadzf di sini adalah:
Pertama, dihilangkan kaf( ك ) di sini karena dianggap
cukup adanya kaf yang pertama pada ma wadda’aka.
Dan untuk penyesuaian akhir ayat dengan al-yaa’.
Kedua, hadzf kaf berfungsi ithlaq (umum), artinya Allâh tidak membencimu dan sahabatmu serta orang yang
mencintaimu.4 Ini termasuk I’jaz lafdzi dikarenakan telah diketahui sebelumnya obyek yang dihilangkan. Atau juga masuk dalam kategori ikhtishar lafzhi yang berfungsi
meringkas lafazh untuk tujuan memberikan banyak makna.
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى 4. Ayat keempat
Kalimat ini ma’tûf pada kalimat ى ل ضَ حُّ ا و
, maka susunan
kalimat tersebut didahului dengan mubtada’. Artinya setelah ditiadakan
kebencian kemudian Rasulullah diberi kabar gembira bahwa yang akan datang lebih
baik dari pada yang awal. Karena ayat ini ma’tûf pada kalimat qasam yang
berfunsi untuk menta’kidkan makna maka ayat ini juga didahului dengan lâm al-ibtida’ yang juga berfungsi untuk menta’kidkan kalâm bahwa kehidupan akhirat
lebih baik dari pada kehidupan dunia. Adapun kata ةَ خ رِ ا ل آ dan الأُوْلَى disebutkan dalam bentuk ma’rifah bertujuan untuk “ta’mim” sehingga makna kalimat ini mencakup keberlangsungan yang menyeluruh baik
pada wahyu yang terus turun atau pada kebaikan yang lainnya.
Ada yang
berpendapat bahwa “lâm” pada dua kata tersebut
adalah “lâm
al-jins” artinya bahwa setiap sesuatu yang dilakukan
dengan pelan-pelan dan kehati-hatian itu lebih baik dari pada yang dilakukan
dengan tergesa-gesa. Huruf lâm pada كَ ل adalah lâm al-ikhtishash, artinya bahwa kebaikan tersebut dikhususkan untuk Nabi Muhammad dan
hal ini mencakup apa yang berhubungan dengan pribadi Nabi, agamanya dan
umatnya. Ini adalah janji dari Allâh bahwa agama Islâm akan tersebar dan Allâh
akan memberikan kepada umatnya kebaikan-kebaikan yang diinginkan Rasul bagi
umatnya.
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى 5. Ayat kelima:
Ayat ini merupakan kalimat isti’nafiyah (permulaan)
yang didahului oleh lâm al-ibtida’ . Lâm al-ibtida’ ini masuk pada khabar yang berfungsi untuk menegaskan kandungan kalimat.
Mutada’ dalam kalimat ini mahdzuf (dihilangkan) yaitu اَنْتَ . jadi susunan kalimatnya وَلَأَنْتَ سَوْفَ یُعْطِيْكَ . Menurut pendapat ini lâm tersebut bukanlah lâm al-qasam karena lâm qasam tidak akan masuk pada fi’il mudhari’ kecuali
disertai dengan nun taukid
Kata ف ْو َس pada ayat tersebut sebagai
ganti dari salah satu “dua nun taukid”, seakan-akan ayat tersebut
mengatakan وَلَنُعْطِيَنَّكَ meskipun pemberiannya
diakhirkan karena dalam pengakhiran pemberian tesebut ada maslahahnya. Pendapat
ini juga disetujui oleh Ibn Hisyâm dalam Mughni al-Labib. Huruf istiqbâl ف ْو َس berfungsi pemberitahuan
bahwa pemberian yang dijanjikan akan terus menerus ada tidak terputus,
sebagaimana pada ayat yang lain: Kata ى َطْ عَ أ termasuk kata yang boleh
dihilangkan salah satu maf’ûlnya. Karenanya boleh
dikatakan أَعْطَيْتُ زَيْدًا دِرْهَمًا atau boleh
juga dikatakan تْ يَ ط ْعَ أ اً د ْيَ ز .
Kemudian lafazh كُّبَر adalah susunan lafazh ma’rifah yang terdiri dari mudhaf-mudhaf ilaih. Pemilihan lafazh “rabb” dan diidhafahkan kepada kaf khitab yang tertuju pada Rasulullah mengandung arti bahwa perhatian yang khusus
kepada Rasul artinya Rasul benar-benar
mendapatkan pertolongan dan kemuliaan dari Allâh ta’ala.
Huruf fâ’ dalam lafazh فَتَرْضَى adalah fâ’ ta’qib yang berarti bahwa pemberian tersebut manfaatnya akan segera dirasakan
oleh orang yang mendapatkannya ketika dia ridha dengan pemberian tersebut.
6. Ayat keenam: أَلَمْ
يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى (6)
Ayat ini didahului dengan hamzah istifhâm (pertanyaan).
Para ulâma bahasa mengatakan bahwa hamzah yang dimaksud berarti istifhâm taqriri (pertanyaan yang berfungsi untuk menetapkan), yaitu menetapkan apa yang
disebutkan setelah al-nafi.
Hamzah pada مَ ل َأ berfungsi untuk inkari al-nafyi (mengingkari kata nafi), dan menetapkan al-manfi. Seakan-akan kata lâm tidak berfungsi, sehingga
kalimat tersebut menjadi: قَدْ وَجَدَكَ يَتِيْمًا . Atau maknanya tetap dalam
susunan nafi, dengan mengartikan الوُجُوْدُ dengan العِلْمُ , huruf kaf adalah maf’ûl pertama dan kata يَتِيْمًا adalah maf’ûl kedua. Sehingga susunannya menjadi . أَلَمْ يَعْلَمْكَ اللهُ يَتِيْمًا Akan tetapi susunan yang terdapat pada ayat di atas lebih indah dari
pada maknanya. Kata lâm berfungsi nafi untuk fi’il mâdhi meskipun pada ayat di atas masuk pada fi’il mudhâri’.
Huruf fâ’ pada فَآوَى berfungsi sebagai akibat
dari kalimat sebelumnya.
Sedangkan
lafazh آوَى diambil dari kata اًاءَوْيِي إِوُؤى يَوآ yaitu fi’il ruba’i yang membutuhkan maf’ûl. Fi’il tsulasinya adalah أَوَى يَأْوِي إِوَاءً yang berarti pulang ke rumah
atau kembali ke tempat berteduh. Jadi hamzah yang terdapat pada kata آوَى adalah hamzah ta’diyah, artinya menjadikannya pulang atau kembali. Kata ini dapat diartikan
dengan perlindungan atau pemenuhan kebetuhan secara majâz atau isti’ârah.
7. Ayat ketujuh: وَوَجَدَكَ
ضَالًّا فَهَدَى (7)
Kalimat ini ma’thuf terhadap ayat yang memuat
kalimat inkar
sebelumnya, hanya saja kalimat pada ayat ini tidak didahului dengan
huruf istifhâm, kalimat ini susunannya adalah itsbat (penetapan). Atau ayat ini ma’thuf pada fi’il mudhari’ yang manfi dengan didahului oleh lâm, sehingga susunan maknanya
menjadi
يَتِيْمًا فَآوَى وَوَجَدَكَ
ضَالا فَهَدَى وَجَدَكَ أَمَّا
Susunan dan
cara memaknainya sama dengan ayat sebelumnya. Yaitu kaf sebagai
maf’ûl pertama dan kata لا ضَا sebagai maf’ûl kedua.
8. Ayat kedelapan: وَوَجَدَكَ
عَائِلًا فَأَغْنَى (8)
Sebagaimana pada ayat ke tujuh, susunan ayat ini juga fi’il dan fâ’il
atau jumlah fi’liyah. Susunan kalimatnya dan
cara memaknainya sama dengan ayat sebelumnya. Pada akhir dari tiga ayat di atas
(6,7, dan 8) kalau kita perhatikan, lafazh ىَنْغَأَى, فَدَهَى, فَآوَف ditiadakan maf’ûl dari ketiganya dikarenakan ketiga
maf’ûlnya sudah diketahui yaitu dhamir khitâb.
9. Ayat kesembilan: فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا
تَقْهَرْ (9)
أَمَّا adalah huruf syarthiyyah tafshiliyyah yaitu huruf syarat yang harus didahului dengan pemisah antara syarat dan
jawab syaratnya. Huruf fâ’ berfungsi sebagai jawaban (
الجَوَاب ) dan balasan ( الجَزَاء ). Adapun kata اليَتِيْمُ al-fashil antara أَمَّا dan jawabnya. أَمَّا sendiri artinya adalah
bagaimanapun adanya, jadi makna dari ayat ini secara keseluruhan adalah
bagaimanapun adanya maka jaganlah engkau menghardik anak yatim.
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10) 10.
Ayat kesepuluh :
Susunan ayat ini sama dengan ayat sebelumnya dan juga terdapat kaidah taqdim
yang mengandung pesan ihtimâm. Artinya bagaimanapun
adanya maka janganlah engkau membentak orang yang meminta-minta.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ : 11. Ayat kesebelas
Dalam ayat ini
susunan jâr majrûr didahulukan
sebelum fi’ilnya juga berfungsi
penekanan pada perkara tersebut sebagaimana dua ayat sebelumnya. Kata بِنِعْمَتِكَ adalah susunan jâr dan majrûr
yang berkaitan (muta’alliq) dengan kata حَدِّثْ kedudukan dari jâr dan majrûr ini adalah maf’ûl (obyek). Didahulukannya maf’ûl pada ayat ini juga berfungsi untuk memberikan penekanan, sehingga makna
ayat ini adalah kabarkan dengan ni’mat Tuhanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar