Rabu, 27 April 2016

PENDIDIKAN SEKOLAH KITA ANTI REALITAS

Pendidikan Sekolah Kita Antirealitas

        JIKA realitas kehidupan masyarakat dicerdasi, akan tampak dunia pendidikan sekolah kita sebenarnya kurang diorientasikan untuk mencerap realitas kehidupan secara kreatif dan visioner. Realitas kehidupan ekonomi kita yang sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian dan perkebunan, ternyata kurang tergarap baik oleh ilmu pertanian dan perkebunan yang diajarkan di sekolah-sekolah umum kita, sejak dari SD hingga perguruan tinggi, baik dalam proses pembelajaran maupun kegiatan riset. Terbukti kita tidak mampu mengembangkan budidaya pertanian dan perkebunan, akibatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Ironinya, terhadap produk-produk pertanian itu, kita masih mengimpor dan tergantung luar negeri, seperti beras, gula, buah-buahan, dan kedelai.               
        Demikian pula usaha kecil menengah (UKM) yang besar jumlahnya dan banyak menyerap tenaga kerja, serta mempunyai andil besar mempertahankan ekonomi nasional dalam menghadapi krisis, ternyata kurang tergarap secara signifikan oleh ilmu ekonomi yang dikembangkan sekolah-sekolah umum kita, dari SD hingga perguruan tinggi. Ironinya, pendidikan ekonomi di sekolah umum, sejak SD hingga perguruan tinggi, tidak banyak dikembangkan untuk pembinaan kualitas sumber daya manusia entrepreneur, dengan mengaitkan ilmu ekonomi di sekolah-sekolah umum sesuai kebutuhan nyata UKM, sehingga dapat mendukung lahirnya kelas menengah yang kuat, yang muncul dari pelaku UKM yang berpendidikan. Dalam kaitan dengan pendidikan sekolah agama, kita dapat melihat hal yang sama di mana pendidikan agama diajarkan antirealitas. Realitas plural dalam kehidupan agama, baik secara internal dalam kehidupan agama itu sendiri maupun secara eksternal dalam kaitannya dengan agama-agama lain, kurang mendapat perhatian memadai dalam pengajaran dan pendidikan ilmu-ilmu agama, yang diselenggarakan dunia pendidikan sekolah agama kita, baik di SD hingga perguruan tinggi. 
      Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan Kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Padahal, kita menyadari, Tuhan dan Kebenaran sesungguhnya tidak pernah dapat dimonopoli seseorang atau sekelompok orang, meski mereka ustaz, kiai, atau pendekar sekalipun. Akibatnya, realitas plural kehidupan agama kurang berfungsi sebagai tali pengikat persatuan bangsa. Pluralitas seharusnya bisa untuk menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati, mau belajar memahami sesama pemeluk agama, serta membangun kerja sama konstruktif untuk memajukan peradaban bangsa. Pluralitas agama menjadi sumber konflik yang tak habis-habisnya, sehingga meresahkan dan memperlemah persaudaraan agama, baik dalam agamanya sendiri maupun dalam hubungannya dengan agama-agama lain. Persaudaraan ternyata amat mudah retak oleh adanya konflik politik dan kepentingan kekuasaan, dan sering mengambil bentuk kekerasan, seperti terjadi di beberapa kota, Poso, Ambon, dan banyak lagi. 
       Mengubah konsep ilmu Pada hakikatnya, ilmu merupakan obyektivikasi intelek terhadap realitas yang ditangkap dalam suatu momen kehidupan tertentu, baik ruang maupun waktu, yang diabstraksikan melalui logika dan diformulasikan menjadi rumusan dalil atau teori. Pada tahap ini harus dipahami, realitas yang ditangkap intelek itu berubah terus, dinamis dan bersifat terbatas, baik dari sudut waktu, ruang, maupun bidangnya. Suatu teori bersifat sementara, sebab realitas yang dicerapnya selalu dalam keadaan berubah, sehingga validitasnya bersifat sementara pula. Karena itu, yang lebih diperlukan bukan menghapal teori-teori, tetapi pemahaman yang tepat terhadap realitas itu sendiri, agar tidak terjadi kecenderungan menghapal teori-teori tentang realitas, sementara realitasnya sendiri sudah berubah, sehingga tidak memadai untuk mengatasi realitas yang ada.
        Pada umumnya kita masih melihat kenyataan bahwa dunia pendidikan sekolah kita masih mengajarkan teori-teori belaka, tanpa memberi kesempatan kreatif untuk bergumul dan memahami realitas secara intensif. Celakanya, ketika teori itu diajarkan ternyata sudah tertinggal, karena realitasnya telah berubah. Akibatnya, ketika mereka menyelesaikan pendidikannya, mereka sama sekali tidak mengenali realitas yang ada di sekitarnya. Dalam keadaan demikian, respons mereka terhadap realitas pasti menjadi kosong, karena hakikat realitas itu tak pernah masuk dalam alam sadar pikirannya. Tidak heran bila kita melihat seseorang yang telah menyelesaikan studinya, maka habislah ilmu yang dihapalkan, sebab ilmunya tidak terkait sama sekali dengan realitas yang dihadapinya. Mereka hanya mendapatkan secarik kertas berupa ijazah atau sertifikat tanda tamat tanpa penguasaan terhadap ilmunya itu sendiri.
         Pendidikan kita sebenarnya kurang memberi ilmu sebagai suatu proses, tetapi hanya ilmu sebagai produk, dengan memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik untuk dihafalkan. Masalah, bagaimana ilmuwan itu melahirkan teori-teorinya, tidak pernah dapat dimengerti secara benar. Kegalauan intelektual yang mendorong seorang ilmuwan melakukan pergumulan dengan realitas melalui berbagai pendekatan, metodologi, dan pengujian untuk dapat mengungkapkan fakta dan kebenaran di balik suatu realitas, tidak pernah menggugah kesadaran pikiran anak didik. Hal yang sama terjadi dalam pendidikan sekolah keagamaan, dengan lebih menguatnya penekanan pada formalisme agama, normatif, dan tekstual yang terlepas dari konteksnya. Agama seakan menjadi ajaran langit, datang dari langit dan lantas melangit, tidak ada kaitannya sama sekali dengan realitas bumi di mana seseorang hidup membumi. Akibatnya, agama tidak membumi dan antirealitas yang ada di Bumi. Realitas kemiskinan dipandangnya sebagai suratan nasib yang harus diterima dengan sabar, karena tidak terkait sama sekali dengan realitas ketimpangan struktural dalam kehidupan ekonomi dan politik suatu masyarakat. Agama telah memabukkan kesadaran manusia terhadap realitas sosial yang ada, dan pesan agama tidak dapat membumi dan dibumikan, apalagi untuk menjadi rahmat bagi semua kehidupan yang ada di muka Bumi ini. 
         Mengubah paradigma pendidikan Pendidikan sekolah kita seharusnya dikembalikan kepada realitas dinamika masyarakatnya, bukan menjadi menara gading yang tercabut dari akar kehidupan masyarakatnya sendiri. Pendidikan sekolah bukan untuk mengajarkan mimpi dan antirealitas, tetapi menjadi bagian yang sah dari realitas hidup masyarakatnya sendiri untuk mencari jawab atas proses dialektik yang terus bergolak dalam kehidupan masyarakatnya. Kecenderungan pendidikan yang antirealitas, mendorong menguatnya feodalisme baru yang memuja gelar akademik hanya untuk menaikkan status dan gengsi sosial, sehingga jual beli gelar akademik menjadi laris di mana-mana. Orang pun merasa tidak malu membeli atau menyandangnya, karena kenyataan menunjukkan, tamatan perguruan tinggi, yang mendapatkan gelar akademik secara benar melalui studi panjang yang berjenjang, ternyata tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan banyak yang menganggur, dan secara signifikan tidak ada bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan tinggi.         Untuk mengubah paradigma pendidikan sekolah harus ada kebijakan pendidikan yang radikal, dengan mengubah secara fundamental pendidikan, sebagai subyek dinamik realitas kehidupan masyarakat, sehingga anak didik dapat memahami realitas secara utuh, benar, dan tepat. Penguasaan alat untuk memahami realitas menjadi tugas fundamental dunia pendidikan kita, melalui proses pembelajaran yang kreatif dan visioner, untuk memperkaya intelektual dan
spiritual anak didiknya. Dunia pendidikan kita tidak boleh terjebak urusan birokrasi yang melelahkan dan tidak mencerdaskan, karena dalam banyak hal, birokrasi pendidikan justru telah membunuh substansi pendidikan itu sendiri. Birokrasi pendidikan sekolah kita telah berkembang secara berlawanan dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bahkan menjadi pusat pembodohan, karena birokrasi pendidikan diselenggarakan sebagai perpanjangan birokrasi kekuasaan dan politik, dengan memberi peluang adanya muatan-muatan politik yang terlalu jauh memasuki birokrasi pendidikan kita. Kita masih ingat bagaimana perguruan tinggi tidak boleh mempelajari suatu ideologi tertentu, seperti larangan mempelajari Marxisme hanya karena ketakutan politik terhadap bahaya komunisme. Demikian pula muatan kurikulum Pancasila dan Kewiraan dalam berbagai versinya, telah diajarkan dari SD hingga perguruan tinggi secara berlebihan, melalui proses pengulangan yang sebenarnya hanya memboroskan.
          Musa Asy'arie Guru Besar Filsafat Islam dan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta

Senin, 11 April 2016

MAKALAH BALAGHOH SURAT AD-DHUHA

MAKALAH
BALAGHOH SURAT AD-DHUHA
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Balaghoh 2
Dosen Pengampu : H. Ahmad Saikhu, Lc, MA

Di Susun Oleh :
ü  Nilatil Husna
ü  Muhimmatul Ulya
ü  Silvi Ramadhani
ü  Nurul Kholidiyah




JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH (INKAFA)
SUCI MANYAR GRESIK
2015







KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat serta hidayahnya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk mata kuliah BALAGHOH 2  yang membahas tentang:
BALAGHOH SURAT AD-DHUHA
Dan penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak dosen yang telah membimbing penulis dan juga kepada teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.


                                                                                    Gresik, 25 Agustus 2015

                                                                                                                                                                                                                               Pemakalah










PEMBAHASAN
A.    Syarah Surat Ad-Dhuha
Surat al-Dhuhâ adalah surat makkiyah, turun setelah surat al-Fajr, terdiri dari
11 ayat, 40 kata dan 172 huruf. Dinamakan surat al-Dhuhâ karena mengambil nama pembuka surat, yaitu Allâh bersumpah dengan al-Dhuhâ; permulaan siang ketika matahari mulai tinggi. Hal ini menunjukkan pentingnya waktu tersebut yang ditandai dengan munculnya cahaya yang merupakan simbol bagi kebenaran, karena ayat ini berbicara tentang Nabi Muhammad, karenanya dimulai dengan al-Dhuhâ. Sebaliknya surat sebelumnya karena berbicara tentang orang yang bakhil maka ia diawali dengan al-Lail.
Pada ayat sebelumnya Allâh mendahulukan kata al-Lail, pada ayat ini Allâh mendahulukan waktu Dhuhâ. Hikmah dari hal ini adalah; pada keduanya terdapat maslahah bagi para mukallaf.2 Malam mempunyai kelebihan dari pada siang karena lebih dahulu disebutkan dalam al-Qur’ân,  Maknanya: “Segala puji bagi Allâh yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang”. (Q.S. al-An’âm: 1)
Dan siang mempunyai kelebihan karena padanya cahaya. Malam bagaikan dunia dan siang bagaikan akhirat, masing-masing mempunyai kelebihan. Maka tidak ada salahnya kadang malam didahulukan dan terkadang siang yang didahulukan. Sebagaimana dalam ayat yang lain Allâh terkadang mendahulukan sujud dari pada ruku’ dan terkadang mendahulukan ruku’ dari pada sujud.
            Penyebutan Dhuha yang menurut bahasa adalah permulaan siang dilanjutkan dengan Lail yang berarti malam secara keseluruhan memberikan beberapa isyarat :
pertama, bahwa bagian dari siang tersebut menyamai semalam penuh, artinya
pekerjaan yang dapat dilakukan pada bagian dari siang tersebut menyamai dengan
apa yang dapat dilakukan pada semalaman.
Kedua, siang adalah waktu bergembira dan bersantai-santai sedangkan malam adalah waktu dimana orang banyak merasakan ketakutan dan kesedihan. Hal ini memberikan isyarat bahwa kesedihan dunia lebih panjang dari pada kesenangannya. Sebagaimana Dhuhâ hanya beberapa waktu sedangkan malam lebih panjang waktunya.
Ketiga, waktu Dhuhâ menunjukkan aktifitas manusia dan perkumpulan mereka seakan-akan sama dengan waktu berkumpulnya manusia di padang makhsyar. Dan malam menunjukkan waktu berhentinya manusia dari aktifitas seakan-akan sama dengan gelapnya kubur. Keduanya ada hikmah dan keni’matannya. Keempat, disebutkan waktu Dhuhâ agar manusia tidak putus asa dari rahmat Allâh dan disebutkan Lail agar manusia tidak merasa aman dari cobaan-Nya.
 Adanya sumpah dengan keduanya dikarenakan orang-orang kafir Quraisy mengklaim bahwa Allâh meninggalkan Muhammad dan membencinya, maka
seharusnya mereka yang mengeluarkan hujjah (bukti) akan tetapi mereka tidak dapat mendatangkannya. Karenanya ayat ini dimulai dengan sumpah bahwa Allâh tidak meninggalkan Muhammad dan membencinya. Sebagaimana kaidah ushul fiqh mengatakan: البَيِّنَةُ عَلَى المُّدَّعِي وَاْليَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
Maknanya: “Bukti bagi orang yang menuduh dan sumpah bagi orang mengingkari”.

B.     Syarah Kosa Kata Yang Sulit

Untuk memahami dan menjelaskan tafsir surat Al-Dhuha saudara dapat mengambil beberapa kata kunci (mufrodat) sebagai berikut :
v  Al-Dhuha = waktu dhuha. Waktu pagi hari antara terbit matahari dan naiknya kira- kira setinggi tombak sampai condong ke barat (al-jazairi/IV:409). Menurut suatu pendapat, waktu siang seluruhnya, hal ini di dasarkan pada ayat sesudahnya yang memperlawanlannya dengan siang (sayyid Al-Thanthawi,4524)
v  Al-Akhirah= akhir, akhir tidak hanya bermakna hari akhir, hari sesudah kehancuran. Menurut bahasa bisa juga sesuatu sebagai lawan kata awal.
v  Tardha = engkau rela, hari merasa enak dan senang karena tidak ada yang dibencinya
v  Yatim = anak yatim, seorang anak yang telah ditinggal mati oleh bapaknya sebelum kelahirannya atau sebelum baligh, yatim juga diartikan sebagai anak-anak yang hak keanakannya terampas.
v  Dlallan = sesat, lawan dari petunjuk yakni tidak makrifat agama dan petunjuk.
v  ‘ailan = fakir, fakir dari gemerlap duniawi (Ibn Ajibah/VII:97) asalnya miskin kemudian menjadi kaya.

C.    Syarah Makna Ayat Dalam Surat Ad-Dhuha

1.      Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
2.      Dan demi malâm apabila telah sunyi (gelap),
3.      Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
4.      Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)
5.      Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.
6.      Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?
7.      Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk.
8.      Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan.
9.      Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
10.  Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.
11.  Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.
Para mufassir sepakat bahwa latar belakang turunnya surah ini adalah keterlambatan turunnya wahyu kepada Rasûlullâh. Keadaan ini dirasakan berat oleh Rasûlullâh, sampai-sampai ada yang mengatakan, “Muhammad telah ditinggalkan Tuhannya dan dibenci-Nya.” Meskipun demikian, para mufassir berbeda pendapat dalam beberapa hal:9
Menurut satu riwayat, Rasûlullâh mengadu kepada istrinya Sayyidah Khadijah tentang terputusnya wahyu. Beliau berkata, “ Sesungguhnya Tuhanku telah
meninggalkan aku dan membenciku.” Khadijah berkata, “Tidak! Demi dia yang
mengutusmu dengan kebenaran, Allâh tidak memulai kemulian ini kepadamu kecuali dia ingin menyempurnakannya untukmu.” Maka turunlah ayat,” Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu.”
Riwayat yang lain mengakatan bahwa sesungguhnya si pembawa kayu bakar, Ummu Jamîl, istri Abû Lahablah yang mengatakan, “Wahai Muhammad, aku tidak melihat setanmu kecuali dia telah meninggalkanmu.” Riwayat yang lainnya mengatakan: Sesungguhnya orang-orang musyriklah yang berceloteh, “Dia telah dibenci Tuhannya dan ditinggalkan-Nya.” Ini adalah riwayat al-Bukhâri, Muslim, al-Tirmîdzi, al-Nasâ’i dan Ibn Mâjah. Mayoritas ulama tafsir menyebutkan bahwa sebab vakumnya wahyu dikarenakan suatu ketika orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasûlullâh tentang ruh, Dzul Qarnain dan Ashâb al-Kahfi. Kemudian Rasûl mengatakan: “Saya kabari kalian besok”, tan mengatakan insya Allâh. Kemudian wahyu tidak turun lagi untuk beberapa waktu lamanya. Zaid ibn Aslam mengatakan: “Sebab vakumnya wahyu adalah adanya anak anjing milik Hasan dan Husain di kediaman Rasûl”. Ketika Jibrîl datang, ia mengeluhkan Rasûl dengan mengatakan: “Bukankah engkau mengetahui bahwa kami (malaikat rahmah) tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjingdan gambar”.
Para mufassir berbeda pendapat lamanya wahyu tidak turun. Ibn Juraij mengatakan selama 12 hari. Al-Kalbi mengatakan selama 15 hari. Ibn Abbâs mengatakan selama 25 hari. Dan al-Suddi dan Muqâtil mengatakan selama 40 hari.

D.    Syarah Balaghoh Dalam Surat Ad-Dhuha
Berikut ini akan dipaparkan beberapa kandungan I’jâz Balaghi dalam surat ad-
Dhuhâ :

1. Ayat pertama:       وَالضُّحَى                                                 
Ini merupakan majâz mursal yang alaqahnya juziyyah, yaitu dengan menyebutkan bagian sesuatu tapi yang dimaksud adalah keseluruhan. Dalam hal ini kata dhuha yang merupakan bagian dari waktu siang akan tetapi yang dimaksud dengannya adalah siang secara keseluruhan. Dikatakan sebagai majaz karena makna asal dari kata dhuha adalah waktu dimana matahari mulai meninggi. Apabila dilihat dari pembandingnya yaitu kata lail maka makna yang sesuia dari kata dhuha adalah keseluruhan siang.

2. Ayat kedua:                        وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى
Kata سَجَى يَسْجُو سَجْوًا pada awalnya digunakan untuk mensifati ombak yang tenang kemudian kata ini menjadi umum sehingga digunakan untuk mensifati malâm ketika hening atau tenang. Dalam hal inipun para ulâma berbeda pendapat tentang ketenangan yang dimaksud apakah yang dimaksud adalah ”tenangnya malâm dari suara manusia karena pada waktu itu mereka sedang tidur” atau “memang malâmnya sendiri yang tenang”. Jadi menurut pendapat pertama isnâd (penyandaran) kata tenang ( سَجَى ) kepada malâm( الَّليْل ) adalah isnâd majâzi, karena yang tenang bukan malâmnya tetapi manusianya.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua ketenangan yang dimaksud adalah tenangnya udara pada malâm hari meskipun begitu udara tidak dapat dikatakan benar-benar tenang karena ia terus bergerak meskipun lâmban. Jadi kata سَجَى apabila dinisbatkan kepada لْيَل maka nisbat tersebut juga nisbat atau isnâd majâzi.
Penisbatan seperti itu termasuk dalam cabang ilmu bayân yaitu ”Majâz ‘aqli
disebut juga ”majâz hukmi” atau “isnâd majâzi”, yaitu suatu bentuk kalimat majâzi yang diungkapkan dengan menggunakan kata kerja atau kata-kata yang semakna dengannya seperti isim fâ’il atau isim maf’ul atau masdar ke pengertian yang lain atau penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan korelasi yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaran yang hakiki antara kedua makna tersebut.

3. Ayat ketiga:           مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى (3)
Ayat di atas merupakan jawaban sumpah (jawâb al-qasam). Jawâb al-qasam apabila pada kalimat manfiyyah maka tidak didahului dengan lâm. Karenanya pada ayat ini menggunakan huruf nafi mâ yang berarti tidak atau bukan.
Kata وَدَعَ pada asalnya adalah dari kata الدَّعَةُ yaitu doa yang ditujukan kepada seorang musafir agar dijauhkan oleh Allâh dari hal-hal yang tidak diinginkan Kata رَبُّكَ adalah susunan mudhaf dan mudhaf ilaih yang merupakan fâ’il dari wadda’a. Sedangkan kata ى َلَ ق اَ مَ و dihilangkan (hadzf) obyeknya karena telah diketahui pada kata مَا وَدَّعَكَ , jadi sudah jelas bahwa obyeknya adalah kaf al mukhâthab. Al-Farra’ mengatakan maksud dari ayat tersebut adalah wa ma qalaaka, akan tetapi kafnya dihilangkan (hadzf). Maksud dari hadzf di sini adalah:

Pertama, dihilangkan kaf( ك ) di sini karena dianggap cukup adanya kaf yang pertama pada ma wadda’aka. Dan untuk penyesuaian akhir ayat dengan al-yaa’.

Kedua, hadzf kaf  berfungsi ithlaq (umum), artinya Allâh tidak membencimu dan sahabatmu serta orang yang mencintaimu.4 Ini termasuk I’jaz lafdzi dikarenakan telah diketahui sebelumnya obyek yang dihilangkan. Atau juga masuk dalam kategori ikhtishar lafzhi yang berfungsi meringkas lafazh untuk tujuan memberikan banyak makna.

وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى           4. Ayat keempat
            Kalimat ini ma’tûf pada kalimat ى ل ضَ حُّ ا و , maka susunan kalimat tersebut didahului dengan mubtada’. Artinya setelah ditiadakan kebencian kemudian Rasulullah diberi kabar gembira bahwa yang akan datang lebih baik dari pada yang awal. Karena ayat ini ma’tûf pada kalimat qasam yang berfunsi untuk menta’kidkan makna maka ayat ini juga didahului dengan lâm al-ibtida’ yang juga berfungsi untuk menta’kidkan kalâm bahwa kehidupan akhirat lebih baik dari pada kehidupan dunia. Adapun kata ةَ خ رِ  ا ل  آ  dan الأُوْلَى disebutkan dalam bentuk ma’rifah bertujuan untuk “ta’mim” sehingga makna kalimat ini mencakup keberlangsungan yang menyeluruh baik pada wahyu yang terus turun atau pada kebaikan yang lainnya.
 Ada yang berpendapat bahwa “lâm” pada dua kata tersebut adalah “lâm al-jins” artinya bahwa setiap sesuatu yang dilakukan dengan pelan-pelan dan kehati-hatian itu lebih baik dari pada yang dilakukan dengan tergesa-gesa. Huruf lâm pada كَ ل adalah lâm al-ikhtishash, artinya bahwa kebaikan tersebut dikhususkan untuk Nabi Muhammad dan hal ini mencakup apa yang berhubungan dengan pribadi Nabi, agamanya dan umatnya. Ini adalah janji dari Allâh bahwa agama Islâm akan tersebar dan Allâh akan memberikan kepada umatnya kebaikan-kebaikan yang diinginkan Rasul bagi umatnya.

وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى                        5. Ayat kelima:
Ayat ini merupakan kalimat isti’nafiyah (permulaan) yang didahului oleh lâm al-ibtida’ . Lâm al-ibtida’ ini masuk pada khabar yang berfungsi untuk menegaskan kandungan kalimat. Mutada’ dalam kalimat ini mahdzuf (dihilangkan) yaitu اَنْتَ . jadi susunan kalimatnya وَلَأَنْتَ سَوْفَ یُعْطِيْكَ . Menurut pendapat ini lâm tersebut bukanlah lâm al-qasam karena lâm qasam tidak akan masuk pada fi’il mudhari’ kecuali disertai dengan nun taukid
Kata ف ْو َس pada ayat tersebut sebagai ganti dari salah satu “dua nun taukid”, seakan-akan ayat tersebut mengatakan وَلَنُعْطِيَنَّكَ meskipun pemberiannya diakhirkan karena dalam pengakhiran pemberian tesebut ada maslahahnya. Pendapat ini juga disetujui oleh Ibn Hisyâm dalam Mughni al-Labib. Huruf istiqbâl ف ْو َس berfungsi pemberitahuan bahwa pemberian yang dijanjikan akan terus menerus ada tidak terputus, sebagaimana pada ayat yang lain: Kata ى َطْ عَ أ termasuk kata yang boleh dihilangkan salah satu maf’ûlnya. Karenanya boleh dikatakan  أَعْطَيْتُ زَيْدًا دِرْهَمًا  atau boleh juga dikatakan تْ يَ ط ْعَ أ اً د ْيَ ز .
Kemudian lafazh كُّبَر adalah susunan lafazh ma’rifah yang terdiri dari mudhaf-mudhaf ilaih. Pemilihan lafazh “rabb” dan diidhafahkan kepada kaf khitab yang tertuju pada Rasulullah mengandung arti bahwa perhatian yang khusus kepada Rasul artinya Rasul benar-benar mendapatkan pertolongan dan kemuliaan dari Allâh ta’ala.
Huruf fâ’ dalam lafazh فَتَرْضَى adalah fâ’ ta’qib yang berarti bahwa pemberian tersebut manfaatnya akan segera dirasakan oleh orang yang mendapatkannya ketika dia ridha dengan pemberian tersebut.

6. Ayat keenam: أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى (6)
Ayat ini didahului dengan hamzah istifhâm (pertanyaan). Para ulâma bahasa mengatakan bahwa hamzah yang dimaksud berarti istifhâm taqriri (pertanyaan yang berfungsi untuk menetapkan), yaitu menetapkan apa yang disebutkan setelah al-nafi.
Hamzah pada  مَ ل َأ berfungsi untuk inkari al-nafyi (mengingkari kata nafi), dan menetapkan al-manfi. Seakan-akan kata lâm tidak berfungsi, sehingga kalimat tersebut menjadi: قَدْ وَجَدَكَ يَتِيْمًا . Atau maknanya tetap dalam susunan nafi, dengan mengartikan الوُجُوْدُ dengan العِلْمُ , huruf kaf adalah maf’ûl pertama dan kata يَتِيْمًا adalah maf’ûl kedua. Sehingga susunannya menjadi  . أَلَمْ يَعْلَمْكَ اللهُ  يَتِيْمًا Akan tetapi susunan yang terdapat pada ayat di atas lebih indah dari pada maknanya. Kata lâm berfungsi nafi untuk fi’il mâdhi meskipun pada ayat di atas masuk pada fi’il mudhâri’.
Huruf fâ’ pada فَآوَى berfungsi sebagai akibat dari kalimat sebelumnya.
Sedangkan lafazh آوَى diambil dari kata اًاءَوْيِي إِوُؤى يَوآ yaitu fi’il ruba’i yang membutuhkan maf’ûl. Fi’il tsulasinya adalah أَوَى يَأْوِي إِوَاءً yang berarti pulang ke rumah atau kembali ke tempat berteduh. Jadi hamzah yang terdapat pada kata آوَى adalah hamzah ta’diyah, artinya menjadikannya pulang atau kembali. Kata ini dapat diartikan dengan perlindungan  atau  pemenuhan kebetuhan secara majâz atau isti’ârah.

7. Ayat ketujuh: وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (7)
Kalimat ini ma’thuf terhadap ayat yang memuat kalimat inkar sebelumnya, hanya saja kalimat pada ayat ini tidak didahului dengan huruf istifhâm, kalimat ini susunannya adalah itsbat (penetapan). Atau ayat ini ma’thuf pada fi’il mudhari’ yang manfi dengan didahului oleh lâm, sehingga susunan maknanya menjadi
يَتِيْمًا فَآوَى وَوَجَدَكَ ضَالا فَهَدَى  وَجَدَكَ أَمَّا
Susunan dan cara memaknainya sama dengan ayat sebelumnya. Yaitu kaf sebagai
maf’ûl pertama dan kata لا ضَا sebagai maf’ûl kedua.

8. Ayat kedelapan: وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى (8)
Sebagaimana pada ayat ke tujuh, susunan ayat ini juga fi’il dan fâ’il atau jumlah fi’liyah. Susunan kalimatnya dan cara memaknainya sama dengan ayat sebelumnya. Pada akhir dari tiga ayat di atas (6,7, dan 8) kalau kita perhatikan, lafazh ىَنْغَأَى, فَدَهَى, فَآوَف ditiadakan maf’ûl dari ketiganya dikarenakan ketiga
maf’ûlnya sudah diketahui yaitu dhamir khitâb.

9. Ayat kesembilan: فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9)
 أَمَّا adalah huruf syarthiyyah tafshiliyyah yaitu huruf syarat yang harus didahului dengan pemisah antara syarat dan jawab syaratnya. Huruf fâ’ berfungsi sebagai jawaban ( الجَوَاب ) dan balasan ( الجَزَاء ). Adapun kata اليَتِيْمُ al-fashil antara أَمَّا dan jawabnya. أَمَّا sendiri artinya adalah bagaimanapun adanya, jadi makna dari ayat ini secara keseluruhan adalah bagaimanapun adanya maka jaganlah engkau menghardik anak yatim.

وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10)    10. Ayat kesepuluh :
Susunan ayat ini sama dengan ayat sebelumnya dan juga terdapat kaidah taqdim yang mengandung pesan ihtimâm. Artinya bagaimanapun adanya maka janganlah engkau membentak orang yang meminta-minta.

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ                     : 11.  Ayat kesebelas 

Dalam ayat ini susunan jâr majrûr didahulukan sebelum fi’ilnya juga berfungsi penekanan pada perkara tersebut sebagaimana dua ayat sebelumnya. Kata بِنِعْمَتِكَ adalah susunan jâr dan majrûr yang berkaitan (muta’alliq) dengan kata حَدِّثْ kedudukan dari jâr dan majrûr ini adalah maf’ûl (obyek). Didahulukannya maf’ûl pada ayat ini juga berfungsi untuk memberikan penekanan, sehingga makna ayat ini adalah kabarkan dengan ni’mat Tuhanmu.