BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits merupakan dua sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’iy.
konteks Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut bisa berupa lafadz
umum atau khusus. Lafadz yang umum atau al-‘aam, ketetapan
hukumnya harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila di sana tidak
ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka
mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny),
terdapat perbedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan Ulama Jumhur (Syafi’iyyah,
Malikiyyah, Hanbaliyyah) dan Hanafiyyah. Pembahasan tentang dalil takhsis
(yang menghususkan) lafadz ‘am insya Allah akan diuraikan dalam bab Takhsis. Nash Al-Qur’an dan Al-Hadits juga
ada yang berupa lafadz khusus (khosh), maka hukum bisa ditetapkan secara
pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki
arti yang lain. Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz mutlak yang dapat
menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang
mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk perintah (‘amar), maka obyek yang
diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi) maka obyek yang
dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari
keharusannya atau ketidak bolehannya.
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah definisi Amm dan Khos itu ?
2.
Apa saja pembagian Amm dan Khos itu?
3.
Bagaimana dalalah Amm dan Khos itu?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui definisi Amm dan Khos.
2.
Untuk mengetahui pembagian Amm dan Khos.
3.
Untuk mengetahui dalalah Amm dan Khos.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Al-‘Aam
Lafadz al-‘aam ialah yang menunjukkan tercakup
dan termasuknya semua satuan-satuan yang ada dalam lafadz itu dengan tanpa
menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan tersebut. Lafadzﻤﻥﺃﻠﻗﻰ (barang siapa melemparkan) dalam hadits
yang berbunyi:
ﻤﻥ ﺃﻠﻗﻰ ﺴﻶﺣﻪ
ﻓﻬﻭﺁ ﻤﻥ adalah lafadz umum yang dapat menunjukkan
tercakupnya setiap orang yang melemparkan senjatanya, tanpa membatasi kepada perseorangan
tertentu.
Keumuman termasuk sifat lafadz karena merupakan
dalalah lafadz yang di dalamnya tercakup semua satuannya. Apabila lafadz ini
hanya menunjukkan satu satuan seperti seorang laki-laki, atau dua satuan
seperti seperti dua orang laki-laki, atau kelompok beberapa satuan seperti yang
dapat dihitung seperti beberapa laki-laki, sekelompok kaum, seratus atau
seribu, maka semua itu bukan termasuk lafadz yang umum.
Terdapat perbedaan antara al-‘Aam dan
al-Muthlaq, al-‘Aam menunjukkan tercakupnya semua satuan dari seluruh
satuannya, sedangkan al-Muthlaq hanya menunjukkan satuan atau beberapa satuan
yang menonjol, bukan kepada semua satuannya. Sebagaimana pendapat para ulama
ushul : ﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻌﺎﻡ ﺸﻤﻮﻠﻲّ ﻮﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻤﻄﻠﻕ ﺒﺩ ﻠﻲّ “keumuman
al-‘Aam bersifat menyeluruh dan keumuman al-Muthlaq bersifat resperentif
(mewakili). Jadi, lafadz al-“Am dapat memperoleh satuan-satuan di dalamnya
sekaligus dan al-Muthlaq hanya memperoleh satuannya yang menonjol.
Lafadz-Lafadz Al-‘Am
Untuk mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz
‘Aam, diperlukan pehaman mendalam terhadap gramatika bahasa arab terutama yang
membahas morfologi pararel (shorf) dan sintaksis pararel (nahu).
Dari situ akan diketahui maksud dan tujuan nash apakah
arahannya umum atau khusus. Oleh karena itu, penting untuk dicatat bahwa
mengetahui bahasa arab adalah 50% mengetahui ilmu ushul fiqh. Patutkah orang
yang tidak memahami gramatika bahasa arab menjadi mujtahid?
Hasil analisa dan pengkajian terhadap mufrodat
dan ungkapan dalam bahasa arab menyimpulkan beberapa lafadz yang arti bahasanya
menunjukkan keumuman dan mencakup keseluruhannya. Dari beberapa referensi buku
ushul fiqh yang ada, tidak ada perbedaan pendapat mencolok dalam penjelasan
lafadz-lafadz al-‘am tersebut. Di bawah ini secara singkat akan dipaparkan
pengklasifikasian lafadz-lafadz ‘am yang sering dipergunakan:
·
Lafadz-lafadz yang bermakna jamak, seperti;
كلّ : كل امرئ
بما كسب رهين
جميع
: خلق لكم ما فى الأرض جميعا
كافّة
: وقاتلواالمشركين كافة كما يقاتلونكم كافة
معاشر
: نحن معاشر
الأنبياء لا نورث
·
Lafadz-lafadz jamak atau mufrad yang
dima’rifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut masing-masing
contohnya;
Ø إنّ الله يغفرالذ نوب جميعا
Ø يوصكم الله فى أولاد كم
Ø والسارق والسارقة فاقطعواأيد يهما
Ø هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته
·
Isim nakirah yang dinafikan (dicegah) atau yang
disyaratkan, sperti contoh;
لاإكراه فى
الدين
ولا تصلّ على
أحد منهم مات أبدا
Isim nakirah yang mutsbat (ditetapkan), tidak
mengandung pengertian umum seperti yang terdapat dalam ayat إنّ الله يأمركم أن تذبحوابقرة kecuali bila
terdapat qorinah (tanda), contohnya لهم فيها فاكهة
ولهم مايدّعون .
·
beberapa isim maushul, di antaranya;
ما : وما من
دابّة فى الأرض إلا على الله رزقها
من : فمن كان
منكم مريضا
الذين : إنّ الذ
ين يأكلون أموال اليتامى ظلما
الللائى :
واللائى يئسن من المحيض من نسائكم
اللاتى :
واللاتى يأتين الفاخشة من نسائكم
أولات : وأولات
الأحمال لأجلهنّ أن يضعن حملهن
·
Isim-isim syarat, beberapa di antaranya;
من : من شهد
منكم الشهر فليصمه
ما : وما تنفقوا
من خير يوفّ اليكم
أي : أيّما تدعو
فله الأسماء الحسنى
أينما : أينما
تكونوا يدرككم الموت
إن : إن كنتم فى
ريب مما نزّلناعلى عبد نا فأتوابسورة من مثله
- Isim isim istifham, sebagaimana dalam contoh-contoh berikut:
من : من فعل هذا
بألهتنا يا إبراهيم
ماذ : ماذا أراد
الله بهذا مثلا
متى : متى نصر
الله
أين : أين ما
كنتم تدعون من دون الله
Semua lafadz-lafadz dalam contoh di atas
dipergunakan untuk pengertian yang bersifat umum karena mencakup setiap
kesatuan yang ada di dalamnya, jika ada lafadz ‘am tetapi tidak mengandung
sebuah keumuman maka lafadz itu adalah bentuk aligori (majazi) yang
keberadaannya membutuhkan qorinah. Khusus mengenai permasalahan ini insya Allah
akan dibahas secara panjang lebar dalam makalah selanjutnya tentang Majaz
dengan penjelasan jelas yang menjelaskan sejelas-jelasnya sampai jelas
dan tidak membutuhkan kejelasan yang lebih jelas.
Al-‘Am Yang Ditakhsis (Dikhususkan)
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian
satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz Aam. Mukhassis adalah dalil yang
menjadi dasar pegangan untuk adanya pengeluaran
tersebut. Dengan melihat keterangan di atas
dapatlah diambil kesimpulan bahwa dalil Aam tetap berlaku bagi satuan-satuan
yang masih ada sesudah dikeluarkan satuan tertentu yang ditunjukkan oleh
mukhassis. Kaidah untuk itu adalah العام بعد
التخصيص حجّة فى الباقى “Lafadz Aam setelah ditakhsiskan masih
menjadi hujjah (pegangan) bagi satuan-satuan yang terkandung di dalamnya”.
Dalam hal mukhassis nash syar’iy maka antara
yang ditakhsiskan dan pentakhsisnya haruslah sederajad seperti Al Qur’an dengan
Al Qur’an atau Al Qur’an dengan As sunnah Mutawattirah. Demikian pula As sunnah
shahihah dengan As sunnah Shahihah. Namun demikian jumhur ulama membolehkan
mentakhsis Al Qur’an dengan As sunnah walaupun ahad, tetapi ulama hanafiah
berpendapat hanya As sunnah Mutawattirah atau yang masyhur saja yang boleh
mentakhsis Al Qur’an.
Sebagian ulama seperti Hanafiyyah mensyaratkan
adanya mukhassis harus muqarinan lil’am (bersamaan dengan Aam). jika tidak,
maka namanya nasikh bukan mukhassis, juga harus mustaqil (tersendiri) dari ‘am.
Pengkhususan seperti ististna yang datang setelah lafadz ‘am menurut mereka
bukan mukhassis, tetapi dalil adanya pembatasan keumuman.
Pendapat ulama Jumhur berbeda dan tidak
mensyaratkan dua hal di atas. Jadi, mukhassis bisa berupa dalil
mustaqil atau ghoir mustaqil, bersamaan dengan nash ‘am (muqarinan linnasshil
‘am) atau tidak, tetapi semuanya dengan catatan tidak datang setelah pengamalan
keumuman, bila datangnya setelah pengamalan namanya nasikh.
Berikut ini pembagian dalil mukhassis menurut
ulama Jumhur; Dalil-dalil yang mengkhususkan ada dua macam; Pertama muttashil,
yaitu dalil yang keberadaannya bersamaan dengan ‘am, masih ada kaitan makna
juga bagian dari ‘am. Kedua dalil munfashil, kebalikan dari yang pertama.
Mukhassis munfashil atau mustaqil (sempurna
dengan dirinya sendiri), ada empat macam:
1.
Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan
bersambung dengan kalimat, seperti firman Allah:
(من شهد منكم الشهر
فليصمه (البقرة: ١٨٥
Setiap orang yang berada di bulan Ramadhan
wajib berpuasa, tetapi di kecualikan orang sakit dan musafir, dengan dalil ayat
sesudahnya;
ومن كان مريضا
أوعلى سفر فعدّة من أيّام أخر
2.
Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan terpisah
dengan kalimat itu.
Contohnya firman Allah dalam surat al-Maidah
ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai , حرّمت عليكم الميتة.
Tetapi dikhususkan bangkai binatang laut, dalil takhsisnya adalah sabda Nabi هوالطهورماؤه الحلّ ميتته
3.
Al-‘aqlu (nalar).
Akal bisa di jadikan dalil takhsis pada semua
nash yang mengandung tuntutan syar’iyyah. Contohnya perintah mengerjakan shalat
dalam ayat أقيمواالصلاة , keumumannya di takhsis oleh akal dengan mengecualikan anak
kecil dan orang-orang gendeng. Contoh lainnya الله
خالق كلّ شيئ ,كتب عليكم الصيام dan lain-lain.
4.
Adat dan uruf.
Point keempat ini adalah menurut madzhab
Malikiyyah. contohnya sabda Rasulullah Saw.: “لاقطع
إلاّ فى ربعِ د ينار “
Artinya:
“Tidak dikenakan hukum potong tangan kecuali (hasil curian itu sampai)
seperempat dinar.
Bagaimana dan berapa harga tukar (kurs) dinar
itu bagi Negara-negara yang tidak memakai dinar sebagai alat pembayaran yang
sah diserahkan kepada uruf atau adat setempat.
Mukhassis muttashil, dalil yang merupakan
bagian dari nash disebut ghair mustaqil (tidak bisa berdiri
sendiri). Juga ada empat macam;
1)
Ististna, seperti dalam ayat
من كفر بالله من
بعد إيمانه إلا من أكره وقلبه مطمئنّ بالإيمان.
( النحل : ۱•٦)
Artinya: “Barang siapa yang kafir kepada
Allah sesudah ia beriman (dia pasti mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang
yang dipaksa kafir sedangkan hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa)
2)
Kata sifat, seperti Firman Allah:
ومن لم يستطع
منكم طولا أن ينكح المحصنات المؤمنات قمن ما ملكت أيمانكم من فتياتكم المؤمنات.
النساء:٢٥
Artinya: Dan barang siapa di antara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka
lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu
miliki. (An nisa’:25)
Lafadz fatayaat
adalah Aam yang
dapat mencakup yang beriman atau tidak. Dengan diberikan kata sifat al mukminat
(yang beriman) maka hamba sahaya yang tidak beriman tidak termasuk lagi.
3)
Syarat, sebagaimana Firman Allah:
وبعولتهنّ أحقّ
بردّهنّ فى ذ لك إن أرادوا إصلا حا (. البقرة: ۲۲۸)
Artinya: Dan suami mereka berhak merujuki
mereka jika mereka (suami istri) itu menghendaki islah (Al Baqarah :228)
4)
Ghoyah, ialah penghabisan sesuatu yang
mengharuskan tetapnya hukum bagi perkara-perkara yang disebut sebelumnya
sedangkan yang disebut sesudahnya tidak ada hukum tersebut. Lafadz ghoyah
adakalanya memakai hatta atau ilaa.
Contohnya Firman Allah Swt.
وما كنّا معذّ
بين حتّى نبعث رسولا. ( الإسراء:
۱٥ )
Artinya: Dan kami tidak akan mengazab
(menyiksa) sehingga kami mengutus seorang Rasul. (Al Isra’ :15)
B.
Dalalah Al-‘Am
Terdapat perbedaan pendapat mengenai
karakteristik dalalah al-‘am yang tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah
pasti atau dugaan. Menurut sebagian ulama ushul –di antaranya
Syafi’iyyah- dalalah al-’am tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan,
apabila dikhususkan maka sisa satuan al-‘am juga dalalahnya dugaan. Ulama ushul
lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa al-‘am yang tidak
dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah pengkhususan adalah
dzanni (bersifat dugaan).
C.
Pembagian Al-‘Am
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-‘am
dibagi menjadi tiga macam;
1.
‘Am yang secara pasti bermaksud keumuman,
sebagaimana firman Allah:
وََمَا مِن
دَابَّةٍ فِى الأرضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزقُهَا. (هود :٦
Artinya: “Dan
tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi
rizkinya”.
2.
‘Am yang
secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan. Seperti Firman Allah SWT:
وَلله على الناس
حِجُّ البَيتِ. ( ال عمران
: ۹۸)
Artinya: “Menunaikan
haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.
3.
‘Am yang dikhususkan, yaitu al-‘am al-muthlaq
yang tidak disertai qorinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau
ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz ‘am
dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan yang bias menentukan
kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya menjadi khusus sampai ada
dalil yang mengkhususkannya,
contoh; والمطلقات يتربّصن بأتفسهنّ ثلا ثة قروء
“perempuan-perempuan yang dithalaq itu
menunggu”.
Menurut
imam al-Syaukani, al-‘am yang dimaksudkan sebagai kekhususan adalah al-‘am yang
ketika diucapkan disertai qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan al-‘am itu ialah khusus bukan umum.
D.
Definisi Al-Khash Lafadz khas
adalah lafadz yang menunjukkan perseorangan tertentu seperti “Mushtofa”, satuan
jenis seperti “laki-laki”, atau beberapa satuan yang terbatas seperti “seratus,
seribu”, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan beberapa bilangan beberapa
satuan, tetapi tidak mencakup satuan-satuan tersebut.
E.
Hukum Khash
Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syar’iy
maka makna yang khash yang ditunjuk oleh lafadz itu adalah qath’iy (قطعى ) bukan dhonny ( ظنّى) contohnya:
والمطلقات
يتربَّصنَ بِأنفسهنّ ثلاثة قروء ( البقرة
: ۲۲۸)
Artinya: “Dan wanita-wanita yang dithalaq
suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga kali quru’ (haid atau
suci). (Al Baqarah : 228).
Lafadz tsalatsah di situ adalah khash dan
maknanya qath’iy.
Seringkali lafadz khash itu terdapat secara
mutlak tanpa ada batasan/ikatan apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk
tuntutan perbuatan. Contoh: إتقو الله (bertakwalah
kepada Allah). Seringkali terdapat dalam bentuk larangan perbuatan, seperti ولا تجسّسوا (dan janganlah kamu memata-matai). Jadi
dalam lafadz khash itu terdapat lafadz mutlak, ikatan/batasan, perintah dan
larangan.
Hukum khash secara global ialah apabila
terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus menunjukkan dalalah secara
pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat untuk itu dan pengertiannya
diambil hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan.Tidak ada pertentangan antara
ulama ushul mengenai ketetapan hukum qoth’iy dari lafadz khash.
a.
Amar
Perintah (amar) adalah permintaan lisan untuk
melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukanya lebih rendah.1
Perintah menurut pengertian ini berbeda dari permohonan (do’a) dan ajakan
(iltimas). Karen a yang disebut pertama merupakan permintaan dari orang yang
kedudukanya lebih rendah kepada orang yang kedudakanya lebih tinggi. Sementara
ajakan permintaan diantara orang yang seterusnya sejajar/ hampir sejajar.
Perintah lisan menimbulkan makna yang berbeda-beda yaitu wajib, sunnah bahkan
mubah. Ada
yang berpendapat bahwa amar hanya mencakup dua diantara tiga konsep tersebut,
yaitu wajib dan sunnah. Sedangkan ada pendapat untuk melakukan sesuatu dan ini
makna amr yang paling luas yang sama dengan ketiga konsep di atas.
Adapun arti amar الاصل في الامر للوجوب (arti yang pokok
dalam amru adalah menunjukkan wajib) wajibnya perbuatan yang di perintahkan
atau
لفظ يرد به ان يفعل الماءمور ما يقصد من الامر
(lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan).
لفظ يرد به ان يفعل الماءمور ما يقصد من الامر
(lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan).
b.
Macam-Macam
Amar
Bentuk
amar kadang-kadang keluar dari makna yang asli dan di gunakan untuk makna yang
bermacam-macam yang dapat diketahui dari susunan perkataan antaralain:
1.
Ijab (wajib)
اقيم الصلوة
اقيم الصلوة
2.
Nadab (anjuran)
“Dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu”.(QS
An nur : 33)
3.
Takdib (adab)
كل مما يليك ( رواه البخاري و مسلم )
“makanlah apa yang ada di depanmu.
كل مما يليك ( رواه البخاري و مسلم )
“makanlah apa yang ada di depanmu.
4.
Irsyad ( menunjuki)
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (diantaramu)(QS Al
Baqarah : 282)
5.
Ibahah (membolehkan)
“Makan
dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”(QS
AlBaqarah : 187)
6.
Tahdid (ancaman)
“Kerjakanlah
apa yang akan kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa ynag kamu
kerjakan”.(QS Fussilat : 60)
7.
Inzhar (peringatan)
“Katakanlah
: bersukarialah kamu, karena sesunggunya tempat kembalimu adalah neraka”.(QS
Ibrahim : 30)
8.
Ikram (memuliakan)
“Dikatakan
kepada mereka : masuklah kedalamnya dengan sejahtera lagi aman”.(QS Hijr : 46)
9.
Taskhir (penghinaan)
“…jadilah
kamu sekalian kera yang hina”(QS Baqarah : 65)
10.
Ta’jiz melelahkan
“Datangkanlah
satu surat (saja) yang seumpama al qur’an itu”(QS Baqarah : 23)
11.
Taswiyah (memersamakan)
“…maka
bersabarlah atau tidak…”(QS Ath thur : 16)
12.
Tauanni (angan-angan)
Wahai siang malam ! memanjanglah
Wahai kantuk ! menghilanglah
Wahai waktu subuh ! berhentilah terlebih dahulu
Jangan segera dating
Wahai siang malam ! memanjanglah
Wahai kantuk ! menghilanglah
Wahai waktu subuh ! berhentilah terlebih dahulu
Jangan segera dating
13.
Do’a (berdo;a)
“Ya
Allah ampunilah aku”(QS As Shod : 35)
14.
Ihanah (meremehkan)
“Rasakanlah,
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”.(QS Ad Dukhon : 49)
15.
Imtinan
c.
Ciri-Ciri Amar
·
Cirri-ciri amar antara lain :
Fi’il amar
Isim fi’il amar
Kemasukan lam fi’il
Masdar yang menduduki tempatnya isim fi’il
amar.
d.
Dilalah Dan
Tuntutan Amar
1.
Menunjukkan wajib, seperti yang dijelaskan oleh
Dr Zakariya Al Bardisy bahwa :
ذهب الجمهور الي ان الامر يدل علي طلب الماءمور بهعلي سبيل الوجوب ولا يصرف عن اقادة الوجوب الي غيره الا اذ وجدت قرينة تد علي ذالك
ذهب الجمهور الي ان الامر يدل علي طلب الماءمور بهعلي سبيل الوجوب ولا يصرف عن اقادة الوجوب الي غيره الا اذ وجدت قرينة تد علي ذالك
Artinya : Jumhur
ulama’ sepakat mengatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya suatu tuntutan
yang secara mutlak selama tidak ada qurinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan
amar tersebut Juga berdasarkan الاصل في الامر للوجوب “ arti pokok dalam amr ialah
menunjukkan wajib (wajibnya) perbuatan yang diperintahkan. Contoh QS : Al A’raf
: 12 dan Al Baqoroh : 34 Ayat
pertama bukan di tunjukkan untuk bertanay, tetapi merupakan pencelaan terhadap
iblis karena engggan bersujud kepada adam tanpa alasan, ketika iblis diperintah
sujud. Ayat kedua, yaitu perkataan sujudlah (usjudu) dengan tidak diserta
qorinah menunjukkan kemestian/ keharusan.
2.
Menunjukkan anjuran (nadab)
Berdasarkan kaidah الاصل في الامر للندب Arti
pokok dalam amar / suruhan itu adalah menunjukkan anjuran (nadab) Suruhan adakalanya
untuk suruhan (wajib), seperti sholat lima waktu, adakalanya untuk anjuran
(nadab) seperti sholat dhuha.
v Tuntutan dalam
amar :
Ø Amar tidak
menghendaki perulangan
Contoh : sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah (QS : Al Baqarah : 196)
Yang mengikuti kaidah الاصل في الامر لا يقتضي التكرار
“bermula suruhan tidak menghendaki berulang-ulang” (berulang-ulang pekerjaan yang di tuntut)
Kewajiban haji dan umrah hanya saja selama hidup. Jadi bila dikerjakan seklai saja sudah cukup.
Contoh : sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah (QS : Al Baqarah : 196)
Yang mengikuti kaidah الاصل في الامر لا يقتضي التكرار
“bermula suruhan tidak menghendaki berulang-ulang” (berulang-ulang pekerjaan yang di tuntut)
Kewajiban haji dan umrah hanya saja selama hidup. Jadi bila dikerjakan seklai saja sudah cukup.
Ø Amar mengehendaki
perulangan
الاصل في الامر يقتضي التكرار مدة العمر مع الامكان
“Bermula suruhan, menghendaki berulang-ulang perbuatan (yang diminta) selama masih ada kesangupan sselama hidup.
الاصل في الامر يقتضي التكرار مدة العمر مع الامكان
“Bermula suruhan, menghendaki berulang-ulang perbuatan (yang diminta) selama masih ada kesangupan sselama hidup.
Ø Amar tidak
menghendaki berlaku segera
الاصل في الامر لا يقتضي الفور
“Bermula suruhan tidak menghendaki kesegeraan”
Karena itu, boleh ditunda mengerajakanya dengan cara yang tidak akan melalaikan pekerjaan yang diperintahkan.
الاصل في الامر لا يقتضي الفور
“Bermula suruhan tidak menghendaki kesegeraan”
Karena itu, boleh ditunda mengerajakanya dengan cara yang tidak akan melalaikan pekerjaan yang diperintahkan.
Ø Amar
menghendaki berlaku segera
الاصل في الامر يقتضي الفور
“Bermula suruhan menghendaki kesegeraan”
الاصل في الامر يقتضي الفور
“Bermula suruhan menghendaki kesegeraan”
Ø Amar sesudah
nahi (larangan)
الامر بد النهي يفيد الاباحة
“Suruhan setelah larangan berarti boleh”
Contoh : Al Maidah : 2
الامر بد النهي يفيد الاباحة
“Suruhan setelah larangan berarti boleh”
Contoh : Al Maidah : 2
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Lafadz al-‘aam ialah yang menunjukkan tercakup
dan termasuknya semua satuan-satuan yang ada dalam lafadz itu dengan tanpa
menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan tersebut.
Lafadz khas
adalah lafadz yang menunjukkan perseorangan tertentu seperti “Mushtofa”, satuan
jenis seperti “laki-laki”, atau beberapa satuan yang terbatas seperti “seratus,
seribu”, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan beberapa bilangan beberapa
satuan, tetapi tidak mencakup satuan-satuan tersebut.
2.
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-‘am
dibagi menjadi tiga macam; ‘Am yang secara pasti bermaksud keumuman, ‘Am yang
secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan. ‘Am yang dikhususkan, yaitu al-‘am
al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya
atau ditiadakan dalalahnya.
3.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai
karakteristik dalalah al-‘am yang tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah
pasti atau dugaan. Menurut sebagian ulama ushul –di antaranya
Syafi’iyyah- dalalah al-’am tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan,
apabila dikhususkan maka sisa satuan al-‘am juga dalalahnya dugaan.
Hukum khash
secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus
menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat
untuk itu dan pengertiannya diambil hukum dengan pasti, tidak dengan
dugaan.Tidak ada pertentangan antara ulama ushul mengenai ketetapan hukum
qoth’iy dari lafadz khash.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, “Pustaka
Ridwan 1999, hal 166
Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya
“al-Wajiz” hal. 305
ﺍﻠﻌﺎﻢ ﻓﻰﺍ ﻠﻠﻐة ﻫﻭﺍﻠﺸﺎ ﻤﻞﺍﻠﻤﺘﻌﺪّ ﺪ
ﻭﻓﻰﺍﻹﺼﻃﻶﺡ ﻠﻓﻈ ﻳﺴﺘﻐﺮﻕ ﺟﻤﻴﻊ ﻤﺎ ﻳﺻﻠﺢ ﻠﻪ ٫ﺒﻮﻀﻊ ﻮﺍ
ﺤﺪ ﺪ ﻔﻌﺔ ﻮﺍﺤﺪﺓ ﻤﻥ ﻏﻴﺮ ﺣﺻﺮ
Menut Imam Syafi’i dalam kitab al-MustashfaJuz
2 hal 32:
العام عبارة عن اللفظ الواحد الدال من جهة واحدة
على شيئين فصاعدامثل الرجال والمشركين
Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Darul Qolam
cetakan ke 12. hal. 181-182.
Dr. Abdul Karim Zaidan “Al-Wajiz fi ushulul
fiqhi”hlm. 310 – 317. Muassasatur Risalah cetakan ke lima
Prof.Dr. Abdul Wahab Khalaf. “Ushulul fiqhi”hlm. 327-329
Aly Hasbullah. “Ushulut tasyri’ al-islami, hlm.
182
Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori –
Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
Umam, Khairul, A, Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih
II, Pustaka Setia, Bandung, 1998
As Syafi’I Karim, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka
Setia, Bandung, 1999
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka
Setia, Bandung, 1998
Syekh Musthofa Thomum, Qowaidu Lil Lughoh Al
Arabiyah, Al Hidayah, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar