KARYA ILMIAH AL-QUR’AN
ORIENTASI HUKUM PERAYAAN BULAN MUHARROM TERHADAP ADAT KIRAB KEBO
BULE SOLO
Karya Ilmiah Al-Qur’an Ini Disusun Untuk Mengikuti Musabaqoh Makalah Ilmiah
Al-Qur’an (M2IQ) Yang Diadakan Oleh Fakultas Ushuluddin
Institut Keislaman Abdullah Faqih
Disusun oleh :
Nilatil Husna
Elok Maghfiroh
INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH
GRESIK
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Karya ilmiah Al-qur’an dengan judul “ Orientasi Hukum Perayaan
Bulan Muharrom Terhadap Adat Kirab Kebo Bule Solo” yang disusun oleh
No. Nama Lengkap NIM Prodi / Semester
1.
Nilatil
Husna PAI-2
/ Lima (V)
2.
Elok
Maghfiroh PAI-2
/ Lima (V)
Telah dikoreksi dan di sahkan di Gresik pada tanggal 07 Nopember
2015
Kaprodi PAI, Pembimbing,
M. Maftuh, S.Sos.I, M.Pd.I Saeful Anam, M.Pd.I
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah, karya ilmiah ini dapat terselesaikan
dengan baik, dengan judul orientasi hukum perayaan bulan Muharrom terhadap adat
kirab kebo bule Solo.
Penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari dukungan berbagai
pihak, ucapan terima kasih penulis ucapkan untuk pembimbing kami UST. SAEFUL
ANAM, M.Pd.I yang sudah mencurahkan tenaga untuk mengarahkan penulisan karya
ilmiah ini, juga untuk segenap teman-teman mahasiswa jurusan Pendidikan Agama
Islam INKAFA atas dukungan dan do’anya
sehingga karya ilmiah ini bisa tersusun dengan baik. Kami
sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan
karya ilmiah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran
yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah lagi di masa yang akan
datang.
Harapan kami, semoga karya ilmiah yang sederhana ini, dapat memberi
kemanfaatan bagi kita semua. Amin
Gresik, 07 Nopember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
DEPAN…………………………………………………………..
HALAMAN
PENGESAHAN…………………………………………………
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………...
DAFTAR
GAMBAR…………………………………………………………..
RINGKASAN………………………………………………………………….
BAB
I : PENDAHULUAN
A.
Latar belakang………………………………………………………...
B.
Rumusan masalah……………………………………………………..
C.
Tujuan penulisan………………………………………………………
D.
Manfaat penulisan……………………………………………………..
BAB
II : KAJIAN PUSTAKA
A.
Teori ……………………………………………………………………
B.
Kerangka pikiran………………………………………………………
BAB
III : METODE PENELITIAN
A.
Waktu dan Tempat……………………………………………………
B.
Alat dan Bahan………………………………………………………...
C.
Alur penulisan…………………………………………………………
BAB
IV : PEMBAHASAN
A.
Hukum perayaan Muharrom adat Solo……………………………..
B.
Bentuk dakwah Islam menyikapi adat Solo…………………………
BAB
V : PENUTUP
A.
Simpulan……………………………………………………………….
B.
Saran……………………………………………………………………
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar
kerangka pikiran………………………………………………………..
Gambar
penentuan waktu dan tempat……………………………………………
Gambar
alur penulisan……………………………………………………………
ABSTRAK
Orientasi Hukum Perayaan Bulan Muharrom Terhadap Adat Kirab Kebo
Bule Solo
Nilatil Husna
INKAFA Semester 5
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan agar dapat memberikan wawasan
pada mayoritas muslim akan orientasi hukum perayaan tahun baru Muharrom yang
sudah dilakukan oleh sebagian muslim Jawa khususnya masyarakat Solo melalui
berbagai ritual aneh, yakni melalui kirab kebo bule kyai selamet yang dikenal
dengan istilah adat ngalap berkah.
Penulisan ini di dasarkan pada penyaksian penulis terhadap ritual kirab
Kebo bule Kyai Selamet yang dilaksanakan oleh masyakat Solo pada bulan Syuro
(Muharrom), guna mendapat berkah dari ritualnya berupa kelancaran rizki,
dagangan laris, panen melimpah dan seterusnya. Kemudian diorientasikan bahwa
dalam Islam dikenal sebagai amalan churafat, yang lebih dikenal dengan istilah
TBC modern (tahayul, bid’ah dan churafat).
Hasil orientasi (paninjauan) oleh penulis tentang perayaan bulan
Muharrom terhadap adat Solo tersebut merupakan salah satu perbuatan syirik,
mewarisi kepercayaan animisme dan dinamisme yang mempercayai bahwa benda-benda
tertentu memiliki kekuatan ghoib. Dan hal itu haruslah dihindari oleh kalangan
umat muslim Jawa khususnya masyarakat Solo dan sekitar sebagai implementasi
surah Al-jatsiyah ayat 18 atas larang Allah mengikuti hawa nafsu dan orang-orang
yang tidak mengetahui hukum Islam.
Kata kunci : Orientasi
hukum, adat muslim Solo, TBC modern, QS. Al-jatsiyah:18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang penulisan
Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan,
seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai
arak-arakan di malam pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru
Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan
kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh
Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan
kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan
berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa
pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar,
Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Dan inilah yang menarik,
orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga
cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut
berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh
kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu
sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang
pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka
meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan
rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai
tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
Dari konteks adat yang dilakukan oleh mayoritas muslim Solo
tersebut jelas menyalahi syari’at Islam, kita memohon keberkahan dengan
perantara benda-benda mistik seperti kerbau bule kyai selamet itu. Dari sini
penulis ingin memaparkan hukum perayaan muslim Solo tersebut, terutama dari
sumber Al-qur’an dan Haditsnya. karena ini dirasa belum pernah diteliti dan
perlu dikaji ulang, maka melalui kajian pustaka juga penulis ingin memaparkan
lebih jelas lagi bentuk dan hukum perayaan Muharrom dalam perspektif Islam.
1.2
Rumusan masalah
1.
Bagaimana
hukum perayaaan bulan Muharrom dalam Islam?
2.
Bagaimana
bentuk perayaan bulan Muharrom oleh beberapa adat muslim?
3.
Bagaimana
orientasi hukum perayaan Muharrom terhadap adat kebo bule Solo?
1.3
Tujuan penulisan
1.
Mengetahui
hukum perayaaan bulan Muharrom dalam Islam.
2.
Mengetahui
bentuk perayaan bulan Muharrom oleh beberapa adat muslim.
3.
Mengetahui
orientasi hukum perayaan Muharrom terhadap adat kirab kebo bule Solo.
1.4
Manfaat penulisan
1.
Menghindarkan
masyarakat dari kepercayaan yang sebenarnya tidak ada dalam syariat islam (TBC
modern).
2.
Menujukkan
pada masyarakat atas hukum menjalankan sesuatu hanya berdasarkan pada warisan
budaya, tanpa ada dalil yang benar dalam islam.
3.
Membenarkan
dalil hukum perayaan bulan Muharrom dan larangan mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui hukum Islam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
TEORI
a.
Pengertian Muharrom
Nama Muharram secara bahasa dapat
diartikan sebagai bulan yang diharamkan. Yaitu bulan yang didalamnya
orang-orang Arab diharamkan dilarang (diharamkan) melakukan peperangan.
Begitulah kebiasaan mereka tempo dulu mengkhususkan bulan-bulan peperangan dan
bulan-bulan gencatan senjata. Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir terdapat
keterangan berikut, Dinamakan
bulan Muharram karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan dan kemuliaan,
bahkan bulan ini memiliki keistimewaan serta kemuliaan yang sangat amat sekali
dikarenakan orang arab tempo dulu menyebutnya sebagai bulan yang mulia (haram),
tahun berikutnya menyebut bulan biasa (halal).
Orang arab jaman
dulu meyakini bahwa bulan Muharram adalah bulan suci sehingga tidak layak
menodai bulan tersebut dengan peperangan, sedangkan pada bulan lain misalnya
shafar, diperbolehkan melakukan peperangan.
(Sumber : Tuhfatul Ahwadzi, Al
Mubarakfuri)
b.
Muharrom dalam perspektif Al-qur’an dan As-sunnah
Dalam
agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan
salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman
Allah Ta’ala berikut.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي
كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci).
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Ibnu
Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan
bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun
menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan
berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan.
Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan
munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran
dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana
yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”
Lalu apa saja
empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ،
ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ،
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
”Setahun
berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci).
Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu
bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan
Sya’ban.”
Suri tauladan
dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
”Puasa yang
paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan
Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat malam.”
(Sumber
: Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali 1420 H)
c.
Hukum perayaan Muharrom dalam Islam
Secara fiqih Islami, tidak ada
perintah secara khusus dari Rasulullah SAW. Untuk melakukan perayaan Muharrom
secara ritual. Bukankah penetapan sistem kalender Islam baru saja dilakukan di
masa kholifah Umar bin Khottab r.a ? selain itu memang kami tidak mendapati
nash yang sharih tentang ritual khusus perayaan tahun baru, apalagi dengan
I’tikaf, shalat qiyamul lail atau dzikir-dzikir tertentu. Kalaupun ada,
hadits-haditsnya sangat lemah bahkan sampai pada derajat maudhu’ dan munkar
hadits.
Namun, bukan berarti kegiatan perayaan
Muharrom itu terlarang dilakukan. Sebab selama tidak ada nash yang mengharamkan
secara langsung dan kegiatan itu tidak terkait langsung dengan ibadah ritual
yang diada-adakan, hukumnya halal-halal saja. Terutama bila kegiatan itu memang
punya manfaat besar baik secara dakwah Islam maupun syiarnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وكذلك بدعة السرور والفرح وكانت
الكوفة بها قوم من الشيعة المنتصرين للحسين وكان رأسهم المختار بن أبي عبيد الكذاب
وقوم من الناصبة المبغضين لعلي رضي الله عنه وأولاده ومنهم الحجاج بن يوسف الثقفي
وقد ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال سيكون في ثقيف كذاب ومبير
فكان ذلك الشيعي هو الكذاب وهذا الناصبي هو المبير فأحدث أولئك الحزن وأحدث هؤلاء
السرور
“Demikian pula bid’ah
bergembira dan berbahagia (di bulan Muharram). Dahulu di Kufah terdapat satu
kaum dari kalangan Syi’ah pembela Al-Husain, pemimpin mereka adalah Al-Mukhtar
bin Abi ‘Ubaid Al-Kadzdzab (pendusta) dan satu kaum dari kalangan Nashibah
pembenci ‘Ali radhiyallahyu’anhu dan anak-anak beliau, diantara pembenci
tersebut adalah Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi, dan telah tsabit dalam
Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Akan muncul pada bani
Tsaqif seorang pendusta dan seorang pembinasa.” Maka orang Syi’ah (Al-Mukhtar)
dialah si pendusta dan orang Nashibah (Al-Hajjaj) dialah si pembinasa, maka
orang-orang Syi’ah memunculkan bid’ah bersedih (di hari ‘Asyuro), sebaliknya
orang-orang Nashibah memunculkan bid’ah berbahagia (di hari ‘Asyuro).”
(Sumber : Minhajus Sunnah,
4/332-333)
Ucapan selamat tahun baru
hijriah, ini tidak disyari’atkan, walau asalnya mubah namun dapat menjadi
bid’ah jika dianggap sebagai bagian dari syari’at, karena tidak ada dalil
syari’atnya.
Terkait permasalahan ini, Imam As-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawa menuturkan sebagai berikut.
أن الحافظ أبا الحسن المقدسي سئل عن التهنئة في أوائل الشهور ، والسنين أهو بدعة أم لا ؟ فأجاب بأن الناس يزالوا مختلفين في ذلك ، قال : والذي أراه أنه مباح ليس بسنة ولا بدعة
أن الحافظ أبا الحسن المقدسي سئل عن التهنئة في أوائل الشهور ، والسنين أهو بدعة أم لا ؟ فأجاب بأن الناس يزالوا مختلفين في ذلك ، قال : والذي أراه أنه مباح ليس بسنة ولا بدعة
Al-Hafidz
Abu Hasan al-Maqdisi ditanya tentang hukum mengucapkan “Selamat bulan
baru dan tahun baru”, apakah bid’ah atau tidak? Ia menjawab, “Banyak orang
berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut pendapat saya, hukumnya adalah
mubah, tidak termasuk sunah ataupun bid’ah.” Memberi
ucapan selamat tahun baru terbilang masalah khilafiyah. Hukumnya masih
diperdebatkan oleh para ulama. Karenanya, dibutuhkan kearifan dalam
menyikapinya. Menurut Abu Hasan al-Maqdisi, seperti yang dinukil as-Suyuthi,
hukumnya ialah mubah. Ia tidak termasuk perbuatan yang disunahkan dan tidak
pula bid’ah. Siapapun diperbolehkan mengucapakan kalimat ini. Terlebih lagi,
bila ucapan tersebut dapat menambah keakraban di antara masyarakat. Orang yang
sudah sekian lama tidak bertegur sapa, bisa jadi dengan adanya momen tahun
baru, ucapan selamat bisa menjadi media baginya untuk berkomunikasi kembali. Wallahu a’lam.[1]
Bukti kemulyaan Muharrom dan
larangan berbuat dosa didalamnya, agar kita terhindar dari siksanya Allah SWT. Firman Allah :"yakni bulan-bulan
yang dimuliakan karena berbuat dosa pada bulan-bulan itu lebih besar dan lebih
jelas dari bulan-bulan yang lain, sebagaimana maksiat di tanah haram juga akan
berlipat dosanya, seperti firman Allah,”Dan siapa yang bermaksud di dalamnya
malakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian
siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj: 25)
d.
Bentuk perayaan Muharrom versi adat muslim
Berbagai tradisi unik sering dilakukan pada perayaan pergantian
tahun ini. Pada tradisi Jawa, momen ini sering dimanfaatkan dengan beberapa
kegiatan religi, seperti puasa berbicara, tidak meninggalkan rumah dan mengisi
waktu dengan ibadah dan saat yang tepat untuk merefleksi diri sendiri. Selain
di rumah, kegiatan menyepi atau bersemedi juga kerap dilakukan di beberapa
tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam
keramat.
Beberapa orang juga sering mengisi 1 Suro dengan kegiatan
‘Kungkum’ atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air. Tradisi
ini masih kerap dijumpai di Yogyakarta. Beberapa kegiatan lain yang juga kerap dijumpai dalam perayaan
malam 1 Suro adalah Tirakatan atau Lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk),
tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit. Selain itu
tradisi 1 Suro juga kerap digunakan untuk ritual ruwatan, atau tradisi
pengusiran balak dan sial.
Perayaan
malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00, diadakan secara serempak di Kraton
Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di
Kraton Surakarta, kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet
sebagai Cucuking Lampah. Sama dengan perayaan di keraton Surakarta, tradisi Satu Suro
juga dirayakan sangat meriah di Kraton Yogyakarta. Disini petugas Kraton
mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan
warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual ‘Mubeng Beteng’ ini, siapapun yang
mengikuti ritual ini tidak diperkenankan untuk berbicara, seperti halnya orang
sedang bertapa. Istilah ini biasa disebut dengan istilah ‘tapa mbisu mubeng
beteng’ (Tapa bisu keliling benteng).
Di beberapa daerah lain, peringatan 1 Suro juga rayakan
dengan tirakatan atau selamatan. Sedang bagi umat Muslim, cara menyambut 1 Sura itu adalah
untuk berinstrospeksi yaitu dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Jika di Jawa Tengah dan Yogyakarta ada peringatan Satu Suro
pas bulan Murharram, Di bengkulu ada upacara Tabot untuk memperingati datangnya
tahun baru Islam. Tabot merupakan upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk
mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan dan
Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin
Zaid di padang pasir Karbala, Irak pada 10 Muharam 61 Hijriah atau 681 M.[2]
( Sumber : http://www.centroone.com)
2.2
Kerangka pikiran
Kerangka
pemikiran kita terkait penyambungan hukum perayaan Muharrom sendiri dari
berbagai perspektif Islam, kemudian kita mengenal beberapa adat muslim dalam
perayaan Muharrom tersebut, yang juga hal ini kita spesifikkan pada adat muslim
solo yakni tradisi ngalap berkah kebo bule kyai selamet yang masih berkembang
hingga saat ini, hemat penulis hal ini tidak langsung kita hubungkan pada
perbuatan syirik melainkan melalui berbagai analisa penulis dalam mengaitkan
hukum Islam melalui tradisi yang tidak selalu menyimpang, sebagaimana kami gambarkan
dalam bagan berikut :
Gambar
1. Bagan kerangka pikiran
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi Husserl.
Metode pengumpulan pada penelitian ini menggunakan metode analisa pustaka
penulis dan Dokumentasi.
3.2
Waktu dan Tempat
WAKTU
|
TEMPAT
|
KEGIATAN
|
25 Oktober
|
Kampus
|
Penentuan judul
|
26 Oktober
|
Kampus
|
Verifikasi judul
|
27-30 Oktober
|
Perpustakaan
|
Pencarian sumber pustaka
|
31-01 Nopember
|
Rental
|
Pengetikan KIR awal
|
02 Nopember
|
Kampus
|
Verifikasi KIR awal
|
03-05 Nopember
|
Perpustakaan
|
Pencarian sumber pustaka II
|
06 Nopember
|
Kampus
|
Validitas naskah KIR
|
07 Nopember
|
Kampus
|
Pengumpulan KIR
|
Gambar 2. Penentuan waktu dan tempat
3.3
Alat dan Bahan
Alat :
Bahan :
1.
Pen 1.
Buku-buku ilmiah
2.
Handbook
2. Koran
3.
Komputer
3. Internet
4.
Flashdisk
4. Jurnal
ilmiah
3.4
Alur penulisan
Mulai
Selesai
Gambar 3. Alur
penulisan makalah
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hukum
Perayaan Muharrom adat Solo
Surakarta
memiliki suatu kebudayaan yakni kirab malam satu sura, dimana kirab tersebut
merupakan arak-arakan pusaka- Surakarta banyak yang beranggapan bahwa barang
siapa yang bisa mendapatkan kotoran atau feces dari kerbau bule Kyai Slamet
pada malam satu Sura, akan diberi keselamatan dan ditambahkan rezeki.
Fenomenologi
perilaku ngalap berkah Kyai Slamet, merupakan proses atribusi yang berasal dari
persepsi dan dipengaruhi oleh locus of cusality Internal dan Eksternal, dimana
persepsi yang muncul antara lain:1) Raja adalah orang yang Luar Biasa. 2) Raja
merupakan orang yang paling dekat dengan Dewa (Tuhan). 3) Keinginan
Manunggaling Kawula Lan Gusti (Menjadi satu dengan Tuhan / dekat dengan Tuhan).
4) Semakin dekat dengan Raja maka dekat pula dengan Tuhan. 5) Kerbau bule yang
disimbolkan dengan Raja, maka sesuatu yang keluar dan sisa dari kerbau bule
Kyai slamet juga dianggap sesuatu yang dianggap sama dengan apa yang
dikeluarkan oleh seorang raja. Locus of Causality Internal, adanya emosional
yang berlebihan untuk bertemu dengan Raja, dengan harapan menjadi lebih dekat
dengan Tuhan sehingga segala Harapan akan terkabul dan Locus of Causality
eksternalnya karena adanya birokrasi yang membatasi (susah dan rumit) untuk
bertemu dengan seorang Raja. Sehingga perilaku atribusi yang terjadi adalah 1)
Bertemu dengan binatang kesayangan 2) Berusaha mendapatkan Bagian dari Kerbau
Bule Kyai Slamet 3) Feces digunakan sebagai azimat keberuntungan.[3]
Diantara acara yang diselenggarakan di hari ini seperti Kirab
Pusaka Kerajaan di Kasunanan Surakarta berkeliling kota menjelang tengah malam
1 Suro, mubeng beteng keliling benteng Keraton Jogja tanpa berkata sepatah kata
pun, pencucian benda-benda pusaka (jimat tradisional) di Keraton Kesepuhan
Cirebon, ritual Kirab Tumuruning Maheso Suro di kota Bantul Jawa Tengah berikut
acara mendengarkan ramalan Mbah Jokasmo yang konon sebagai mediator kanjeng
ratu kidul yang diyakini masyarakat setempat sebagai penguasa laut selatan. Dan
di Jawa Timur tidak kalah seru, bertempat di area pasarean (pemakaman keramat)
Gunung Kawi berbagai acara digelar, ada pertunjukan wayang kulit, barongsai dan
juga acara keliling pendopo sebanyak tujuh kali berlawanan arah jarum jam dengan
setiap saat berhenti di depan pintu sisi utara, timur, selatan dan barat sambil
menghormat ke dalam makam, dengan maksud ngalap berkah, mengharap keberuntungan
dan niatan lainnya. Acara-acara
seperti ini di tanah air ada yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang
lampau, seperti Kirab Pusaka Kerajaan yang konon sudah ada sejak Keraton
Surakarta berdiri tahun 1745 M. Dan di TMII acara-acara serupa juga digelar dan
dimeriahkan oleh dalang-dalang dan paranormal ternama. Pertanyaannya apa tinjauan
Islam terhadap acara tersebut? Sudah merupakan prinsip agama ini
bahwa Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang diibadahi.
Setiap peribadahan kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah ibadah yang
batil dan pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat
dari perbuatannya. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “(Kuasa
Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang
Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil,
dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”.(QS. Al
Hajj: 62)
Dan
Allah Subhaanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa pelaku kesyirikan kekal di neraka
jahannam pada ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu
seorang penolongpun”. (QS. Al Maidah: 72) Maka
ibadah apa pun bentuknya adalah haram diperuntukkan kepada selain Allah
Subhaanahu wa ta’ala. Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Rahimahullah berkata
menerangkan pengertian ibadah di dalam kitabnya Al Ubudiyah, “Ibadah adalah
segala sesuatu yang dicintai dan diridha’i Allah dari ucapan dan perbuatan yang
lahir dan tersembunyi”.
Maka
shalat, puasa, zakat, haji adalah ibadah. Istighatsah (minta keselamatan),
isti’anah (minta pertolongan), takut dan mengharap adalah ibadah, dan yang lain
sebagainya dari macam-macam ibadah semuanya hanya untuk Allah Subhaanahu wa
ta’ala. Inilah prinsip tauhid (memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu
wa ta’ala semata) yang menjadi landasan paling fundamental di dalam Islam.
Barangsiapa yang melanggarnya maka ia jatuh ke dalam kesyirikan kecil atau besar
tergantung jenis pelanggarannya. Seperti
acara Kirab Pusaka di Kota Solo, Pencucian Jimat di Cirebon sudah maklum
diketahui di dalam Islam bahwa Dzat Yang Memberi manfaat dan Menolak
Kemudharatan hanya Allah Subhaanahu wa ta’ala semata, Allah Subhaanahu wa
ta’ala berfirman (yang artinya), "Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka:"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi", niscaya
mereka menjawab:"Allah".Katakanlah:"Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka
dapat menahan rahmat-Nya. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku".
Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri"(QS.
Az-Zumar: 38) Berdasarkan
ayat ini dan dalil-dalil yang lain, maka keyakinan-keyakinan terhadap benda
pusaka, jimat dan yang lainnya bahwa benda-benda tersebut bisa mendatangkan
manfaat atau menolak kemudharatan adalah batal. Seorang muslim haram meyakini
ada kekuatan terselubung atau berkah tertentu pada benda-benda tersebut tanpa
keterangan dari Allah Subhaanahu wa ta’ala di dalam Al Qur’an atau Rasul-Nya di
dalam As-Sunnah menurut pemahaman generasi pertama ummat ini (para shahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Apakah seseorang berkeyakinan bahwa benda
tersebut bisa mendatangkan manfa’at dan menolak kemudharatan dengan sendirinya
(syirik besar) atau benda-benda tersebut hanya sebagai perantara (syirik kecil).
Lantas
apa hukumnya menghadiri acara-acara di atas sebatas mengaguminya sebagai
kebudayaan tanpa ada keyakinan-keyakinan tertentu? Jawabnya, adalah haram.
Karena Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah
selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya:"Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu
(siksaan) Allah". (Ibrahim berkata):"Ya Rabb kami, hanya kepada
Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya
kepada Engkaulah kami kembali”. (QS. Al Mumtahanah: 4)
Kemudian
diantara acara-acara tersebut ada yang jelas-jelas merupakan syirik besar,
seperti minta-minta kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala seperti yang kerap
dilakukan para peziarah di area pasarean (pemakaman keramat) Gunung Kawi
bertepatan dengan 1 Suro atau pada hari-hari besar Islam. Apakah minta berkah,
minta restu, minta keselamatan, kesejahteraan dan maksud-maksud lainnya. Begitu
juga acara pemujaan dan pemberian sesajian yang kental mewarnai acara-acara
seperti ini. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia
mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya
pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina”. (QS.
Al Furqan: 69)
Dan
seorang yang berakal akan mendapati dengan jelas pada acara-acara tersebut
warna yang kental dalam upayanya menyaingi syari’at yang suci ini, syari’at
Islam. Beberapa diantaranya seperti acara keliling benteng di Kraton Jogja
mirip dengan thawaf di Baitullah, begitu juga keliling pendopo di Pasarean
Gunung Kawi. Acara-acara ini kalau bukan kesyirikan, paling ringan adalah
bid’ah yang mungkar di dalam Islam.
Belum
lagi acara ruwatan yang sering diadakan di TMII setiap awal tahun Jawa yang
turut dimeriahkan oleh “dukun-dukun keren” (paranormal) yang unjuk kebolehan di
hadapan ribuan hadirin yang termakan oleh sihir mereka. Rasulullah Shalallahu’alaihi
wassalam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa mendatangi dukun atau
paranormal dan mempercayai ucapannya maka dia telah kafir terhadap yang
diturunkan kepada Muhammad”. Yaitu dia telah kafir terhadap Al Qur’an,
dan orang yang kufur terhadap Al Qur’an batal keislamannya.
Maka
berhati-hatilah dari acara-acara seperti ini yang sarat dengan bid’ah,
kesyirikan dan pemujaan kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala. Dan cukup
bagi kita dua hari besar tahunan yang diakui di dalam Islam Hari Raya ‘Iedul
Fithri dan ‘Iedul Adha. Dan wajib bagi setiap muslim untuk tidak tolong
menolong dalam kejelekan, seperti mempromosikan acara-acara di atas, memujinya,
atau ikut melestarikannya. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang
artinya), “(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya
dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang
mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka
disesatkan).Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”.(QS.
An-Nahl: 25)
4.2 Bentuk
dakwah Islam menyikapi adat Solo
Kalau
sudah seperti itu maka berbagai elemen, dari penguasa, seniman, budayawan,
pelaku adat, dan pengelola media massa secara beramai-ramai mengusung
kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang merusak iman, atas nama adat,
tradisi, dan budaya. Pada dasarnya mereka kalau mengaku beragama Islam (dan itu
memang mayoritas, karena penduduk Indonesia ini mayoritas Muslim, termasuk
pejabatnya pula) maka mereka jelas-jelas mlenteti (tidak
mentaati sambil masih pula bernada meremehkan) Allah Ta’ala, yang telah
memberikan segalanya: hingga mereka bisa hidup, bahkan punya jabatan,
berpangkat, bisa jalan-jalan ke sana sini, tertawa-tawa dan sebagainya; namun
Allah Ta’ala yang Maha Pemurah itu bukan dibalas dengan rasa syukur, justru diplenteti.
Mana buktinya?
Buktinya,
mereka telah melanggar aturan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyuruh manusia ini
untuk bertolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Sebaliknya, melarang
bertolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.
وَتَعاَوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلاِثْمِ واَلْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلِعقَابِ
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maaidah: 2).
Di kala manusia tolong menolong
dalam keburukan, maka telah dikecam oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:
اْلمُنَافِقُوْنَ وَاْلمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ أَيْدَيْهِمْ نَسُوْا الله فَنَسِيَهُمْ إِنَّ اْلمُنَافِقِيْنَ هُمُ اْلفَاسِقُوْنَ
Orang-orang
munafik laki-laki dan perempuan sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama,
mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka
menggenggamkan tangannya[berlaku kikir]. mereka telah lupa kepada Allah, maka
Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang
yang fasik. (QS At-Taubah/
9: 67).
Kalau sudah
demikian, apakah kemusyrikan itu tidak bisa diberantas?
Insya Allah
bisa.
Ada pejabat
yang begitu terpilih, maka program 100 hari yang dicanangkannya adalah menebang
pohon tempat kemusyrikan di alun-alun Purwokerto Jawa Tengah. Reaksi para
pendukung kemusyrikan pun berdatangan dari berbagai kalangan, dari DPRD,
Keuskupan Purwokerto, seniman budayawan, dan aneka macam orang yang mendukung
kemusyrikan dengan dalih cagar budaya dan semacamnya. Tetapi Bupati
Banyumas, Drs. H. Mardjoko, M.M. tetap tegas:
’’Ada
kepercayaan dua pohon beringin itu tak boleh ditebang. Itu tidak mutlak benar.
Sekarang perlu disesuaikan,’’ kata Mardjoko di depan peserta dialog kampus di
gedung rektorat Unsoed, Sabtu lalu (16 Mei 2008). Dialog
bertema ’’Banyumasku Kampusku Ukir Prestasi, Sejahterakan Rakyat Pribumi’’ itu
digelar bersamaan dengan peluncuran USP Koperasi Kampus. Bupati Mardjoko
menegaskan kawasan alun-alun Purwokerto tetap akan ditata. Jalan tengah
disatukan, dua pohon beringin ditebang.[4]
Apakah benar, keberatan mereka itu
dilatar belakangi pelestarian kemusyrikan?
Ya. Buktinya, apa yang ditulis di
situs Keuskupan Purwokerto sebagai berikut:
Rupanya
ribut-ribut soal pohon beringin alun-alun itu menyusup dan menjadi perbincangan
warga Wisma Kasepuhan. Kang Warto ikutan mendengarkan dan mencermati.”Waktu
saya kecil, setiap kali wetonan, Simbok saya membuat bubur
abang putih,” begitu Romo Sepuh memulai bercerita.”Simbok bilang, Le,
iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana,” tambahnya.[5].
Perkataan “Le,
iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana” (Nak, ini bawa dan taruh di
bawah pohon beringin sana) itu adalah praktek sesaji. Judulnya itu sendiri
adalah cerita tentang sesaji. Jelas itu adalah kemusyrikan, dosa terbesar yang
tak diampuni, bila pelakunya belum bertaubat benar-benar dan tak mengulanginya.
Menghadapi
halangan dan protes yang mengusung kemusyrikan semacam itu, perlu ada landasan
legalnya. Dalam kasus ini, ternyata kemudian ada surat dari Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah.
Dalam surat
dari BP3 Jawa Tengah tentang alun-alun Purwokerto menyebutkan bahwa (1)
Alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya yang
dilindungi UU No 5/1992 sehingga dalam upaya revitalisasinya memperhatikan
nilai penting sebagai simbolisme religius, nilai penting kota bersejarah, dan
nilai penting sebagai landmark kota. (2)Revitalisasi alun-alun dapat
dilaksanakan sesuai gambar perencanaan landscape alun-alun Purwokerto Kabupaten
Banyumas Tahun 2008 dengan memperhatikan: a. Jalan aspal ditengah
alun-alun dihilangkan dan dapat dibuat akses tapak jalan dari coneblock dengan
ketinggian yang selaras dengan lahan alun-alun; b. Pohon beringin kurung dan
beringin batur tetap dipertahankan, dalam arti beringin kurung yang mati
diganti baru; c. Pagar beringin kurung dapat diganti dengan bentuk yang
dikonsultasikan lebih dahulu dengan BP3 Jateng; d. Jika ada perubahan-perubahan
dari rencana supaya dikonsultasikan dengan BP3 Jateng.[6]
Ketika ada
tekad bulat, ternyata ada jalan pula. Tidak mudah memang, untuk menyingkirkan
daki-daki yang mengotori bahkan merusak keimanan di negeri ini. Tetapi kalau
saja ada pejabat yang berani bertindak, walau bukan karena memberantas
kemusyrikan, tetapi untuk menata kota agar lebih baik, ternyata bisa berjalan
pula, bahkan ada pula yang mendukungnya. Dalam kasus ini, Muhammadiyah
Purwokerto mendukungnya.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Secara
fiqih Islami, tidak ada perintah secara khusus dari Rasulullah SAW. Untuk
melakukan perayaan Muharrom secara ritual. Bukankah penetapan sistem kalender
Islam baru saja dilakukan di masa kholifah Umar bin Khottab r.a ? selain itu
memang kami tidak mendapati nash yang sharih tentang ritual khusus perayaan
tahun baru, apalagi dengan I’tikaf, shalat qiyamul lail atau dzikir-dzikir
tertentu. Kalaupun ada, hadits-haditsnya sangat lemah bahkan sampai pada
derajat maudhu’ dan munkar hadits.
2. Berbagai tradisi unik sering
dilakukan pada perayaan pergantian tahun ini. Pada tradisi Jawa, momen ini
sering dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan religi, seperti puasa berbicara,
tidak meninggalkan rumah dan mengisi waktu dengan ibadah dan saat yang tepat
untuk merefleksi diri sendiri. Selain di rumah, kegiatan menyepi atau bersemedi
juga kerap dilakukan di beberapa tempat sakral seperti puncak gunung, tepi
laut, pohon besar, atau di makam keramat.
3.
Kemudian diantara
acara-acara tersebut ada yang jelas-jelas merupakan syirik besar, seperti
minta-minta kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala seperti yang kerap
dilakukan para peziarah di area pasarean (pemakaman keramat) Gunung Kawi
bertepatan dengan 1 Suro atau pada hari-hari besar Islam. Apakah minta berkah,
minta restu, minta keselamatan, kesejahteraan dan maksud-maksud lainnya. Begitu
juga acara pemujaan dan pemberian sesajian yang kental mewarnai acara-acara
seperti ini.
5.2 Saran
1.
untuk
penulis sendiri agar lebih mempelajari dalam pengembangan orientasi hukum
perayaan Muharrom terhadap berbagai adat yang menyimpang syari’at di Indonesia.
2.
Untuk
seluruh umat Islam, haruslah lebih berhati-hati dalam menghadapi adat islam
yang menyimpang, haruslah pandai-pandai menfilternya.
[1]
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/454/20795
[2]
Sumber : http://www.centroone.com/lifestyle/2012/11/3a/mengenal-budaya-perayaan-malam-1-suro/
[3]
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/12/17/42287/Kotoran-Kyai-Slamet-Masih-Dipercaya-Beri-Berkah
[4]
Warta Purbalanjar,
Mon May 19, 2008 10:30 pm
[5]
(Sesaji Romo
Sepuh untuk Pohon Beringin, Selasa, 25 November 2008 05:45:31 – oleh:
kangwarto, Keuskupan Purwokerto, keuskupan%20protes%20beringin%20ditebang.htm)