Rabu, 02 Maret 2016

Tinjauan hukum perayaan Muharrom adat muslim Solo (Karya Ilmiyah Al-qur'an)



KARYA ILMIAH AL-QUR’AN
ORIENTASI HUKUM PERAYAAN BULAN MUHARROM TERHADAP ADAT KIRAB KEBO BULE SOLO

Karya Ilmiah Al-Qur’an Ini Disusun Untuk  Mengikuti Musabaqoh Makalah Ilmiah
Al-Qur’an (M2IQ) Yang Diadakan Oleh Fakultas Ushuluddin
Institut Keislaman Abdullah Faqih








Disusun oleh :
Nilatil Husna
 Elok Maghfiroh





INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH
GRESIK
2015







HALAMAN PENGESAHAN



  
Karya ilmiah Al-qur’an dengan judul “ Orientasi Hukum Perayaan Bulan Muharrom Terhadap Adat Kirab Kebo Bule Solo” yang disusun oleh



 
    No.     Nama Lengkap                     NIM                            Prodi / Semester
1.      Nilatil Husna                                                               PAI-2 / Lima (V)
2.      Elok Maghfiroh                                                           PAI-2 / Lima (V)



 


Telah dikoreksi dan di sahkan di Gresik pada tanggal 07 Nopember 2015


Kaprodi PAI,                                                  Pembimbing,


M. Maftuh, S.Sos.I, M.Pd.I                                 Saeful Anam, M.Pd.I







KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah, karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik, dengan judul orientasi hukum perayaan bulan Muharrom terhadap adat kirab kebo bule Solo.
Penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, ucapan terima kasih penulis ucapkan untuk pembimbing kami UST. SAEFUL ANAM, M.Pd.I yang sudah mencurahkan tenaga untuk mengarahkan penulisan karya ilmiah ini, juga untuk segenap teman-teman mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam INKAFA  atas dukungan dan do’anya sehingga karya ilmiah ini bisa tersusun dengan baik.                                                                                                                            Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan karya ilmiah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami  sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah lagi di masa yang akan datang.
Harapan kami, semoga karya ilmiah yang sederhana ini, dapat memberi  kemanfaatan bagi kita semua. Amin




Gresik, 07 Nopember  2015     

Penulis                        






DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN…………………………………………………………..
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………
KATA PENGANTAR…………………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………..
RINGKASAN………………………………………………………………….
BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar belakang………………………………………………………...
B.     Rumusan masalah……………………………………………………..
C.    Tujuan penulisan………………………………………………………
D.    Manfaat penulisan……………………………………………………..
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A.    Teori ……………………………………………………………………
B.     Kerangka pikiran………………………………………………………
BAB III : METODE PENELITIAN
A.    Waktu dan Tempat……………………………………………………
B.     Alat dan Bahan………………………………………………………...
C.    Alur penulisan…………………………………………………………
BAB IV : PEMBAHASAN
A.    Hukum perayaan Muharrom adat Solo……………………………..
B.     Bentuk dakwah Islam menyikapi adat Solo…………………………
BAB V : PENUTUP
A.    Simpulan……………………………………………………………….
B.     Saran……………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN


DAFTAR GAMBAR

Gambar kerangka pikiran………………………………………………………..
Gambar penentuan waktu dan tempat……………………………………………
Gambar alur penulisan……………………………………………………………

























ABSTRAK
Orientasi Hukum Perayaan Bulan Muharrom Terhadap Adat Kirab Kebo Bule  Solo

Nilatil Husna
INKAFA  Semester 5

Penulisan karya ilmiah ini bertujuan agar dapat memberikan wawasan pada mayoritas muslim akan orientasi hukum perayaan tahun baru Muharrom yang sudah dilakukan oleh sebagian muslim Jawa khususnya masyarakat Solo melalui berbagai ritual aneh, yakni melalui kirab kebo bule kyai selamet yang dikenal dengan istilah adat ngalap berkah.
Penulisan ini di dasarkan pada penyaksian penulis terhadap ritual kirab Kebo bule Kyai Selamet yang dilaksanakan oleh masyakat Solo pada bulan Syuro (Muharrom), guna mendapat berkah dari ritualnya berupa kelancaran rizki, dagangan laris, panen melimpah dan seterusnya. Kemudian diorientasikan bahwa dalam Islam dikenal sebagai amalan churafat, yang lebih dikenal dengan istilah TBC modern (tahayul, bid’ah dan churafat).
Hasil orientasi (paninjauan) oleh penulis tentang perayaan bulan Muharrom terhadap adat Solo tersebut merupakan salah satu perbuatan syirik, mewarisi kepercayaan animisme dan dinamisme yang mempercayai bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan ghoib. Dan hal itu haruslah dihindari oleh kalangan umat muslim Jawa khususnya masyarakat Solo dan sekitar sebagai implementasi surah Al-jatsiyah ayat 18 atas larang Allah mengikuti hawa nafsu dan orang-orang yang tidak mengetahui hukum Islam.




Kata kunci : Orientasi hukum, adat muslim Solo, TBC modern, QS. Al-jatsiyah:18



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang penulisan
Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
 Dan inilah yang menarik, orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
Dari konteks adat yang dilakukan oleh mayoritas muslim Solo tersebut jelas menyalahi syari’at Islam, kita memohon keberkahan dengan perantara benda-benda mistik seperti kerbau bule kyai selamet itu. Dari sini penulis ingin memaparkan hukum perayaan muslim Solo tersebut, terutama dari sumber Al-qur’an dan Haditsnya. karena ini dirasa belum pernah diteliti dan perlu dikaji ulang, maka melalui kajian pustaka juga penulis ingin memaparkan lebih jelas lagi bentuk dan hukum perayaan Muharrom dalam perspektif Islam.
1.2    Rumusan masalah
1.         Bagaimana hukum perayaaan bulan Muharrom dalam Islam?
2.         Bagaimana bentuk perayaan bulan Muharrom oleh beberapa adat muslim?
3.         Bagaimana orientasi hukum perayaan Muharrom terhadap adat kebo bule Solo?

1.3    Tujuan penulisan
1.      Mengetahui hukum perayaaan bulan Muharrom dalam Islam.
2.      Mengetahui bentuk perayaan bulan Muharrom oleh beberapa adat muslim.
3.      Mengetahui orientasi hukum perayaan Muharrom terhadap adat kirab kebo bule Solo.

1.4    Manfaat penulisan
1.      Menghindarkan masyarakat dari kepercayaan yang sebenarnya tidak ada dalam syariat islam (TBC modern).
2.      Menujukkan pada masyarakat atas hukum menjalankan sesuatu hanya berdasarkan pada warisan budaya, tanpa ada dalil yang benar dalam islam.
3.      Membenarkan dalil hukum perayaan bulan Muharrom dan larangan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui hukum Islam.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    TEORI
a.    Pengertian Muharrom
       Nama Muharram secara bahasa dapat diartikan sebagai bulan yang diharamkan. Yaitu bulan yang didalamnya orang-orang Arab diharamkan dilarang (diharamkan) melakukan peperangan. Begitulah kebiasaan mereka tempo dulu mengkhususkan bulan-bulan peperangan dan bulan-bulan gencatan senjata. Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir terdapat keterangan berikut,                                                                    Dinamakan bulan Muharram karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan dan kemuliaan, bahkan bulan ini memiliki keistimewaan serta kemuliaan yang sangat amat sekali dikarenakan orang arab tempo dulu menyebutnya sebagai bulan yang mulia (haram), tahun berikutnya menyebut bulan biasa (halal).                             
 Orang arab jaman dulu meyakini bahwa bulan Muharram adalah bulan suci sehingga tidak layak menodai bulan tersebut dengan peperangan, sedangkan pada bulan lain misalnya shafar, diperbolehkan melakukan peperangan.
(Sumber : Tuhfatul  Ahwadzi, Al Mubarakfuri)

b.   Muharrom dalam perspektif Al-qur’an dan As-sunnah
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”
(Sumber : Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali 1420 H)

c.       Hukum perayaan Muharrom dalam Islam
Secara fiqih Islami, tidak ada perintah secara khusus dari Rasulullah SAW. Untuk melakukan perayaan Muharrom secara ritual. Bukankah penetapan sistem kalender Islam baru saja dilakukan di masa kholifah Umar bin Khottab r.a ? selain itu memang kami tidak mendapati nash yang sharih tentang ritual khusus perayaan tahun baru, apalagi dengan I’tikaf, shalat qiyamul lail atau dzikir-dzikir tertentu. Kalaupun ada, hadits-haditsnya sangat lemah bahkan sampai pada derajat maudhu’ dan munkar hadits.
Namun, bukan berarti kegiatan perayaan Muharrom itu terlarang dilakukan. Sebab selama tidak ada nash yang mengharamkan secara langsung dan kegiatan itu tidak terkait langsung dengan ibadah ritual yang diada-adakan, hukumnya halal-halal saja. Terutama bila kegiatan itu memang punya manfaat besar baik secara dakwah Islam maupun syiarnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وكذلك بدعة السرور والفرح وكانت الكوفة بها قوم من الشيعة المنتصرين للحسين وكان رأسهم المختار بن أبي عبيد الكذاب وقوم من الناصبة المبغضين لعلي رضي الله عنه وأولاده ومنهم الحجاج بن يوسف الثقفي وقد ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال سيكون في ثقيف كذاب ومبير فكان ذلك الشيعي هو الكذاب وهذا الناصبي هو المبير فأحدث أولئك الحزن وأحدث هؤلاء السرور
       “Demikian pula bid’ah bergembira dan berbahagia (di bulan Muharram). Dahulu di Kufah terdapat satu kaum dari kalangan Syi’ah pembela Al-Husain, pemimpin mereka adalah Al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid Al-Kadzdzab (pendusta) dan satu kaum dari kalangan Nashibah pembenci ‘Ali radhiyallahyu’anhu dan anak-anak beliau, diantara pembenci tersebut adalah Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi, dan telah tsabit dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Akan muncul pada bani Tsaqif seorang pendusta dan seorang pembinasa.” Maka orang Syi’ah (Al-Mukhtar) dialah si pendusta dan orang Nashibah (Al-Hajjaj) dialah si pembinasa, maka orang-orang Syi’ah memunculkan bid’ah bersedih (di hari ‘Asyuro), sebaliknya orang-orang Nashibah memunculkan bid’ah berbahagia (di hari ‘Asyuro).”
(Sumber : Minhajus Sunnah, 4/332-333)

Ucapan selamat tahun baru hijriah, ini tidak disyari’atkan, walau asalnya mubah namun dapat menjadi bid’ah jika dianggap sebagai bagian dari syari’at, karena tidak ada dalil syari’atnya.
Terkait permasalahan ini, Imam As-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawa menuturkan sebagai berikut.
أن الحافظ أبا الحسن المقدسي سئل عن التهنئة في أوائل الشهور ، والسنين أهو بدعة أم لا ؟ فأجاب بأن الناس            يزالوا مختلفين في ذلك ، قال : والذي أراه أنه مباح ليس بسنة ولا بدعة                               
                                                                                                                                                Al-Hafidz Abu Hasan al-Maqdisi ditanya tentang hukum mengucapkan “Selamat  bulan baru dan tahun baru”, apakah bid’ah atau tidak? Ia menjawab, “Banyak orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut pendapat saya, hukumnya adalah mubah, tidak termasuk sunah ataupun bid’ah.”                                              Memberi ucapan selamat tahun baru terbilang masalah khilafiyah. Hukumnya masih diperdebatkan oleh para ulama. Karenanya, dibutuhkan kearifan dalam menyikapinya. Menurut Abu Hasan al-Maqdisi, seperti yang dinukil as-Suyuthi, hukumnya ialah mubah. Ia tidak termasuk perbuatan yang disunahkan dan tidak pula bid’ah. Siapapun diperbolehkan mengucapakan kalimat ini. Terlebih lagi, bila ucapan tersebut dapat menambah keakraban di antara masyarakat. Orang yang sudah sekian lama tidak bertegur sapa, bisa jadi dengan adanya momen tahun baru, ucapan selamat bisa menjadi media baginya untuk berkomunikasi kembali. Wallahu a’lam.[1]
Bukti kemulyaan Muharrom dan larangan berbuat dosa didalamnya, agar kita terhindar dari siksanya Allah SWT. Firman Allah :"yakni bulan-bulan yang dimuliakan karena berbuat dosa pada bulan-bulan itu lebih besar dan lebih jelas dari bulan-bulan yang lain, sebagaimana maksiat di tanah haram juga akan berlipat dosanya, seperti firman Allah,”Dan siapa yang bermaksud di dalamnya malakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj: 25)

d.   Bentuk perayaan Muharrom versi adat muslim
Berbagai tradisi unik sering dilakukan pada perayaan pergantian tahun ini. Pada tradisi Jawa, momen ini sering dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan religi, seperti puasa berbicara, tidak meninggalkan rumah dan mengisi waktu dengan ibadah dan saat yang tepat untuk merefleksi diri sendiri. Selain di rumah, kegiatan menyepi atau bersemedi juga kerap dilakukan di beberapa tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.                                                         
Beberapa orang juga sering mengisi 1 Suro dengan kegiatan ‘Kungkum’ atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air. Tradisi ini masih kerap dijumpai di Yogyakarta. Beberapa kegiatan lain yang juga kerap dijumpai dalam perayaan malam 1 Suro adalah Tirakatan atau Lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit. Selain itu tradisi 1 Suro juga kerap digunakan untuk ritual ruwatan, atau tradisi pengusiran balak dan sial.
Perayaan malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta, kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Sama dengan perayaan di keraton Surakarta, tradisi Satu Suro juga dirayakan sangat meriah di Kraton Yogyakarta. Disini petugas Kraton mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual ‘Mubeng Beteng’ ini, siapapun yang mengikuti ritual ini tidak diperkenankan untuk berbicara, seperti halnya orang sedang bertapa. Istilah ini biasa disebut dengan istilah ‘tapa mbisu mubeng beteng’ (Tapa bisu keliling benteng).                                                                        
Di beberapa daerah lain, peringatan 1 Suro juga rayakan dengan tirakatan atau selamatan. Sedang bagi umat Muslim, cara menyambut 1 Sura itu adalah untuk berinstrospeksi yaitu dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.                                 
 Jika di Jawa Tengah dan Yogyakarta ada peringatan Satu Suro pas bulan Murharram, Di bengkulu ada upacara Tabot untuk memperingati datangnya tahun baru Islam. Tabot merupakan upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang pasir Karbala, Irak pada 10 Muharam 61 Hijriah atau 681 M.[2]
( Sumber : http://www.centroone.com)
2.2    Kerangka pikiran
Kerangka pemikiran kita terkait penyambungan hukum perayaan Muharrom sendiri dari berbagai perspektif Islam, kemudian kita mengenal beberapa adat muslim dalam perayaan Muharrom tersebut, yang juga hal ini kita spesifikkan pada adat muslim solo yakni tradisi ngalap berkah kebo bule kyai selamet yang masih berkembang hingga saat ini, hemat penulis hal ini tidak langsung kita hubungkan pada perbuatan syirik melainkan melalui berbagai analisa penulis dalam mengaitkan hukum Islam melalui tradisi yang tidak selalu menyimpang, sebagaimana kami gambarkan dalam bagan berikut :















Text Box: Hukum adat perayaan Muharrom






Text Box: Dalam perspektif Islam








Text Box: Sunnah









Text Box: Makruh





Text Box: Adat kirab kebo bule Solo, akidah tiyaroh




 
























Gambar 1. Bagan kerangka pikiran


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1  Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi Husserl. Metode pengumpulan pada penelitian ini menggunakan metode analisa pustaka penulis dan Dokumentasi.
3.2  Waktu dan Tempat
WAKTU
TEMPAT
KEGIATAN
25 Oktober
Kampus
Penentuan judul
26 Oktober
Kampus
Verifikasi judul
27-30 Oktober
Perpustakaan
Pencarian sumber pustaka
31-01 Nopember
Rental
Pengetikan KIR awal
02 Nopember
Kampus
Verifikasi KIR awal
03-05 Nopember
Perpustakaan
Pencarian sumber pustaka II
06 Nopember
Kampus
Validitas naskah KIR
07 Nopember
Kampus
Pengumpulan KIR

Gambar 2. Penentuan waktu dan tempat

3.3  Alat dan Bahan
Alat :                                       Bahan :
1.      Pen                                          1. Buku-buku ilmiah
2.      Handbook                               2. Koran
3.      Komputer                                3. Internet
4.      Flashdisk                                 4. Jurnal ilmiah

3.4  Alur penulisan
Mulai



Rounded Rectangle: Merumuskan masalah
 


                                                                                                                                         








Rounded Rectangle: Membuat sampel







Rounded Rectangle: Membuat simpulan dan hasil



 














Selesai

Gambar 3. Alur penulisan makalah








BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Hukum Perayaan Muharrom adat Solo
Surakarta memiliki suatu kebudayaan yakni kirab malam satu sura, dimana kirab tersebut merupakan arak-arakan pusaka- Surakarta banyak yang beranggapan bahwa barang siapa yang bisa mendapatkan kotoran atau feces dari kerbau bule Kyai Slamet pada malam satu Sura, akan diberi keselamatan dan ditambahkan rezeki.                  
 Fenomenologi perilaku ngalap berkah Kyai Slamet, merupakan proses atribusi yang berasal dari persepsi dan dipengaruhi oleh locus of cusality Internal dan Eksternal, dimana persepsi yang muncul antara lain:1) Raja adalah orang yang Luar Biasa. 2) Raja merupakan orang yang paling dekat dengan Dewa (Tuhan). 3) Keinginan Manunggaling Kawula Lan Gusti (Menjadi satu dengan Tuhan / dekat dengan Tuhan). 4) Semakin dekat dengan Raja maka dekat pula dengan Tuhan. 5) Kerbau bule yang disimbolkan dengan Raja, maka sesuatu yang keluar dan sisa dari kerbau bule Kyai slamet juga dianggap sesuatu yang dianggap sama dengan apa yang dikeluarkan oleh seorang raja. Locus of Causality Internal, adanya emosional yang berlebihan untuk bertemu dengan Raja, dengan harapan menjadi lebih dekat dengan Tuhan sehingga segala Harapan akan terkabul dan Locus of Causality eksternalnya karena adanya birokrasi yang membatasi (susah dan rumit) untuk bertemu dengan seorang Raja. Sehingga perilaku atribusi yang terjadi adalah 1) Bertemu dengan binatang kesayangan 2) Berusaha mendapatkan Bagian dari Kerbau Bule Kyai Slamet 3) Feces digunakan sebagai azimat keberuntungan.[3]
Diantara acara yang diselenggarakan di hari ini seperti Kirab Pusaka Kerajaan di Kasunanan Surakarta berkeliling kota menjelang tengah malam 1 Suro, mubeng beteng keliling benteng Keraton Jogja tanpa berkata sepatah kata pun, pencucian benda-benda pusaka (jimat tradisional) di Keraton Kesepuhan Cirebon, ritual Kirab Tumuruning Maheso Suro di kota Bantul Jawa Tengah berikut acara mendengarkan ramalan Mbah Jokasmo yang konon sebagai mediator kanjeng ratu kidul yang diyakini masyarakat setempat sebagai penguasa laut selatan. Dan di Jawa Timur tidak kalah seru, bertempat di area pasarean (pemakaman keramat) Gunung Kawi berbagai acara digelar, ada pertunjukan wayang kulit, barongsai dan juga acara keliling pendopo sebanyak tujuh kali berlawanan arah jarum jam dengan setiap saat berhenti di depan pintu sisi utara, timur, selatan dan barat sambil menghormat ke dalam makam, dengan maksud ngalap berkah, mengharap keberuntungan dan niatan lainnya.                                                                                       Acara-acara seperti ini di tanah air ada yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lampau, seperti Kirab Pusaka Kerajaan yang konon sudah ada sejak Keraton Surakarta berdiri tahun 1745 M. Dan di TMII acara-acara serupa juga digelar dan dimeriahkan oleh dalang-dalang dan paranormal ternama. Pertanyaannya apa tinjauan Islam terhadap acara tersebut?                                                                        Sudah merupakan prinsip agama ini bahwa Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang diibadahi. Setiap peribadahan kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah ibadah yang batil dan pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat dari perbuatannya. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”.(QS. Al Hajj: 62)                                                    
 Dan Allah Subhaanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa pelaku kesyirikan kekal di neraka jahannam pada ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (QS. Al Maidah: 72)                                                          Maka ibadah apa pun bentuknya adalah haram diperuntukkan kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala. Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Rahimahullah berkata menerangkan pengertian ibadah di dalam kitabnya Al Ubudiyah, “Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridha’i Allah dari ucapan dan perbuatan yang lahir dan tersembunyi”.                                                                                      
 Maka shalat, puasa, zakat, haji adalah ibadah. Istighatsah (minta keselamatan), isti’anah (minta pertolongan), takut dan mengharap adalah ibadah, dan yang lain sebagainya dari macam-macam ibadah semuanya hanya untuk Allah Subhaanahu wa ta’ala. Inilah prinsip tauhid (memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala semata) yang menjadi landasan paling fundamental di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya maka ia jatuh ke dalam kesyirikan kecil atau besar tergantung jenis pelanggarannya.        Seperti acara Kirab Pusaka di Kota Solo, Pencucian Jimat di Cirebon sudah maklum diketahui di dalam Islam bahwa Dzat Yang Memberi manfaat dan Menolak Kemudharatan hanya Allah Subhaanahu wa ta’ala semata, Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi", niscaya mereka menjawab:"Allah".Katakanlah:"Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri"(QS. Az-Zumar: 38)                                          Berdasarkan ayat ini dan dalil-dalil yang lain, maka keyakinan-keyakinan terhadap benda pusaka, jimat dan yang lainnya bahwa benda-benda tersebut bisa mendatangkan manfaat atau menolak kemudharatan adalah batal. Seorang muslim haram meyakini ada kekuatan terselubung atau berkah tertentu pada benda-benda tersebut tanpa keterangan dari Allah Subhaanahu wa ta’ala di dalam Al Qur’an atau Rasul-Nya di dalam As-Sunnah menurut pemahaman generasi pertama ummat ini (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Apakah seseorang berkeyakinan bahwa benda tersebut bisa mendatangkan manfa’at dan menolak kemudharatan dengan sendirinya (syirik besar) atau benda-benda tersebut hanya sebagai perantara (syirik kecil).                                                                                                                                       
Lantas apa hukumnya menghadiri acara-acara di atas sebatas mengaguminya sebagai kebudayaan tanpa ada keyakinan-keyakinan tertentu? Jawabnya, adalah haram. Karena Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya:"Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata):"Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali”. (QS. Al Mumtahanah: 4)                                                                                   
 Kemudian diantara acara-acara tersebut ada yang jelas-jelas merupakan syirik besar, seperti minta-minta kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala seperti yang kerap dilakukan para peziarah di area pasarean (pemakaman keramat) Gunung Kawi bertepatan dengan 1 Suro atau pada hari-hari besar Islam. Apakah minta berkah, minta restu, minta keselamatan, kesejahteraan dan maksud-maksud lainnya. Begitu juga acara pemujaan dan pemberian sesajian yang kental mewarnai acara-acara seperti ini. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina”. (QS. Al Furqan: 69)
Dan seorang yang berakal akan mendapati dengan jelas pada acara-acara tersebut warna yang kental dalam upayanya menyaingi syari’at yang suci ini, syari’at Islam. Beberapa diantaranya seperti acara keliling benteng di Kraton Jogja mirip dengan thawaf di Baitullah, begitu juga keliling pendopo di Pasarean Gunung Kawi. Acara-acara ini kalau bukan kesyirikan, paling ringan adalah bid’ah yang mungkar di dalam Islam.
Belum lagi acara ruwatan yang sering diadakan di TMII setiap awal tahun Jawa yang turut dimeriahkan oleh “dukun-dukun keren” (paranormal) yang unjuk kebolehan di hadapan ribuan hadirin yang termakan oleh sihir mereka. Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa mendatangi dukun atau paranormal dan mempercayai ucapannya maka dia telah kafir terhadap yang diturunkan kepada Muhammad”. Yaitu dia telah kafir terhadap Al Qur’an, dan orang yang kufur terhadap Al Qur’an batal keislamannya.
Maka berhati-hatilah dari acara-acara seperti ini yang sarat dengan bid’ah, kesyirikan dan pemujaan kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala. Dan cukup bagi kita dua hari besar tahunan yang diakui di dalam Islam Hari Raya ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha. Dan wajib bagi setiap muslim untuk tidak tolong menolong dalam kejelekan, seperti mempromosikan acara-acara di atas, memujinya, atau ikut melestarikannya. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan).Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”.(QS. An-Nahl: 25) 

4.2 Bentuk dakwah Islam menyikapi adat Solo
Kalau sudah seperti itu maka berbagai elemen, dari penguasa, seniman, budayawan, pelaku adat, dan pengelola media massa secara beramai-ramai mengusung kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang merusak iman, atas nama adat, tradisi, dan budaya. Pada dasarnya mereka kalau mengaku beragama Islam (dan itu memang mayoritas, karena penduduk Indonesia ini mayoritas Muslim, termasuk pejabatnya pula) maka mereka jelas-jelas mlenteti (tidak mentaati sambil masih pula bernada meremehkan) Allah Ta’ala, yang telah memberikan segalanya: hingga mereka bisa hidup, bahkan punya jabatan, berpangkat, bisa jalan-jalan ke sana sini, tertawa-tawa dan sebagainya; namun Allah Ta’ala yang Maha Pemurah itu bukan dibalas dengan rasa syukur, justru diplenteti.
Mana buktinya?
Buktinya, mereka telah melanggar aturan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyuruh manusia ini untuk bertolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Sebaliknya, melarang bertolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.

 وَتَعاَوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلاِثْمِ واَلْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلِعقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maaidah: 2).
Di kala manusia tolong menolong dalam keburukan, maka telah dikecam oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:

اْلمُنَافِقُوْنَ وَاْلمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ أَيْدَيْهِمْ نَسُوْا  الله فَنَسِيَهُمْ إِنَّ اْلمُنَافِقِيْنَ هُمُ اْلفَاسِقُوْنَ

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[berlaku kikir]. mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah/ 9: 67).
Kalau sudah demikian, apakah kemusyrikan itu tidak bisa diberantas?
Insya Allah bisa.
Ada pejabat yang begitu terpilih, maka program 100 hari yang dicanangkannya adalah menebang pohon tempat kemusyrikan di alun-alun Purwokerto Jawa Tengah. Reaksi para pendukung kemusyrikan pun berdatangan dari berbagai kalangan, dari DPRD, Keuskupan Purwokerto, seniman budayawan, dan aneka macam orang yang mendukung kemusyrikan dengan dalih cagar budaya dan semacamnya. Tetapi  Bupati Banyumas, Drs. H. Mardjoko, M.M. tetap tegas:
’’Ada kepercayaan dua pohon beringin itu tak boleh ditebang. Itu tidak mutlak benar. Sekarang perlu disesuaikan,’’ kata Mardjoko di depan peserta dialog kampus di gedung rektorat Unsoed, Sabtu lalu (16 Mei 2008).  Dialog bertema ’’Banyumasku Kampusku Ukir Prestasi, Sejahterakan Rakyat Pribumi’’ itu digelar bersamaan dengan peluncuran USP Koperasi Kampus. Bupati Mardjoko menegaskan kawasan alun-alun Purwokerto tetap akan ditata. Jalan tengah disatukan, dua pohon beringin ditebang.[4] 
Apakah benar, keberatan mereka itu dilatar belakangi pelestarian kemusyrikan?
Ya. Buktinya, apa yang ditulis di situs Keuskupan Purwokerto sebagai berikut:
Rupanya ribut-ribut soal pohon beringin alun-alun itu menyusup dan menjadi perbincangan warga Wisma Kasepuhan. Kang Warto ikutan mendengarkan dan mencermati.”Waktu saya kecil, setiap kali wetonan, Simbok saya membuat bubur abang putih,” begitu Romo Sepuh memulai bercerita.”Simbok bilang, Le, iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana,” tambahnya.[5].
Perkataan “Le, iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana” (Nak, ini bawa dan taruh di bawah pohon beringin sana) itu adalah praktek sesaji. Judulnya itu sendiri adalah cerita tentang sesaji. Jelas itu adalah kemusyrikan, dosa terbesar yang tak diampuni, bila pelakunya belum bertaubat benar-benar dan tak mengulanginya.
Menghadapi halangan dan protes yang mengusung kemusyrikan semacam itu, perlu ada landasan legalnya. Dalam kasus ini, ternyata kemudian ada surat dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah.
Dalam surat dari BP3 Jawa Tengah tentang alun-alun Purwokerto menyebutkan bahwa (1) Alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya yang dilindungi UU No 5/1992 sehingga dalam upaya revitalisasinya memperhatikan nilai penting sebagai simbolisme religius, nilai penting kota bersejarah, dan nilai penting sebagai landmark kota. (2)Revitalisasi alun-alun dapat dilaksanakan sesuai gambar perencanaan landscape alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas Tahun 2008 dengan memperhatikan: a. Jalan aspal ditengah alun-alun dihilangkan dan dapat dibuat akses tapak jalan dari coneblock dengan ketinggian yang selaras dengan lahan alun-alun; b. Pohon beringin kurung dan beringin batur tetap dipertahankan, dalam arti beringin kurung yang mati diganti baru; c. Pagar beringin kurung dapat diganti dengan bentuk yang dikonsultasikan lebih dahulu dengan BP3 Jateng; d. Jika ada perubahan-perubahan dari rencana supaya dikonsultasikan dengan BP3 Jateng.[6]
Ketika ada tekad bulat, ternyata ada jalan pula. Tidak mudah memang, untuk menyingkirkan daki-daki yang mengotori bahkan merusak keimanan di negeri ini. Tetapi kalau saja ada pejabat yang berani bertindak, walau bukan karena memberantas kemusyrikan, tetapi untuk menata kota agar lebih baik, ternyata bisa berjalan pula, bahkan ada pula yang mendukungnya. Dalam kasus ini, Muhammadiyah Purwokerto mendukungnya.









BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
1.    Secara fiqih Islami, tidak ada perintah secara khusus dari Rasulullah SAW. Untuk melakukan perayaan Muharrom secara ritual. Bukankah penetapan sistem kalender Islam baru saja dilakukan di masa kholifah Umar bin Khottab r.a ? selain itu memang kami tidak mendapati nash yang sharih tentang ritual khusus perayaan tahun baru, apalagi dengan I’tikaf, shalat qiyamul lail atau dzikir-dzikir tertentu. Kalaupun ada, hadits-haditsnya sangat lemah bahkan sampai pada derajat maudhu’ dan munkar hadits.
2.    Berbagai tradisi unik sering dilakukan pada perayaan pergantian tahun ini. Pada tradisi Jawa, momen ini sering dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan religi, seperti puasa berbicara, tidak meninggalkan rumah dan mengisi waktu dengan ibadah dan saat yang tepat untuk merefleksi diri sendiri. Selain di rumah, kegiatan menyepi atau bersemedi juga kerap dilakukan di beberapa tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.                            
3.    Kemudian diantara acara-acara tersebut ada yang jelas-jelas merupakan syirik besar, seperti minta-minta kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala seperti yang kerap dilakukan para peziarah di area pasarean (pemakaman keramat) Gunung Kawi bertepatan dengan 1 Suro atau pada hari-hari besar Islam. Apakah minta berkah, minta restu, minta keselamatan, kesejahteraan dan maksud-maksud lainnya. Begitu juga acara pemujaan dan pemberian sesajian yang kental mewarnai acara-acara seperti ini.
5.2 Saran
1.    untuk penulis sendiri agar lebih mempelajari dalam pengembangan orientasi hukum perayaan Muharrom terhadap berbagai adat yang menyimpang syari’at di Indonesia.
2.    Untuk seluruh umat Islam, haruslah lebih berhati-hati dalam menghadapi adat islam yang menyimpang, haruslah pandai-pandai menfilternya.




























































[1] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/454/20795
[2] Sumber : http://www.centroone.com/lifestyle/2012/11/3a/mengenal-budaya-perayaan-malam-1-suro/

[4] Warta Purbalanjar, Mon May 19, 2008 10:30 pm
[5] (Sesaji Romo Sepuh untuk Pohon Beringin, Selasa, 25 November 2008 05:45:31 – oleh: kangwarto, Keuskupan Purwokerto, keuskupan%20protes%20beringin%20ditebang.htm)
[6] (kamar Puisi, alun-alun yang unik itu kini telah hilang, di 03:57Diposkan oleh Ryan Rachman )